Senin, 01 Desember 2008

Toleransi Beragama

Hari ini saya baca berita di website-nya tvOne, di bawah ini sebagian kutipannya :

December 01,2008
Gereja Amerika Ijinkan Umat Islam Shalat Isya dan Subuh
Wisconsin, (tvOne)

Sebuah gereja di Negara Bagian Wisconsin, Amerika Serikat timur laut, telah memperkenankan umat Islam melaksanakan shalat dua kali sehari. "Kami merasa berterima kasih kepada gereja itu," kata Ajaz Qhavi, seorang tokoh Islam setempat. Gereja Presbiterian di Kota Franklin, Wisconsin selatan, itu telah mengijinkan kaum Muslimin setempat melaksanakan shalat sebanyak lima hari dalam sepekan, tulis Journal Sentinel, seperti dilaporkan IINA. Sejak pekan lalu, kaum Muslimin berkumpul di ruangan Sekolah Minggu gereja itu untuk melaksanakan shalat Subuh dan Isya. ......dsb.....................

Setelah membaca berita tersebut, saya termenung sejenak sambil berpikir....”kok di negara seperti di Amerika justru hal tersebut bisa terjadi....bagaimana keadaannya di Indonesia yang katanya berpenduduk ’sangat religius’ itu ?”. Apakah toleransi beragama di Indonesia masih ada ? Apalagi kalau berhadapan dengan ”agama asli” yang dikategorikan sebagai ”terbelakang” itu. Saya jadi teringat bahwa pernah membuat tulisan tentang hal semacam itu. Maksudnya tentang nasib "agama asli" yang selalu saja dianaktirikan dan tersingkir. Mau baca ? Silahkan....




AGAMA MARAPU dan PERUBAHAN SOSIAL di UMALULU, SUMBA TIMUR

P. Soeriadiredja, Denpasar 2006

Pendahuluan

Pada UUD 1945 Bab XI tentang Agama, pasal 29 ayat 1-2 dinyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal tersebut, berarti negara Republik Indonesia tidak berdasarkan agama tertentu, melainkan berdasarkan kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti pula bahwa semua agama dan kepercayaan yang ada dihormati kedudukannya dan seluruh warga negara bebas memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing serta bebas untuk melaksanakan ibadatnya masing-masing.
Adanya kemajemukan agama di Indonesia, di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara antara lain dinyatakan pula agar semua umat beragama dapat terus memelihara kerukunannya, baik diantara sesama penganut agama tertentu maupun dengan penganut agama lain. Diharapkan diantara umat beragama yang berbeda itu terwujud hubungan yang akrab, saling menghormati dan menghargai terhadap agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing, serta terjalin kerja sama saling bantu membantu dalam melaksanakan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, dan selanjutnya dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Pernyataan-pernyataan tersebut nampaknya merupakan suatu rumusan yang ideal dan cenderung “dikeramatkan”. Namun yang masih harus diperhatikan adalah bagaimana rumusan semacam itu bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, karena bagaimanapun bagi para penganut suatu agama, agama yang dianutnya itu merupakan suatu kebenaran mutlak. Dengan demikian tentunya agak sulit untuk dapat memahami ajaran-ajaran atau pandangan agama lain. Apalagi bila terbentur pada cara berpikir yang sempit, maka bisa saja cara berpikir atau tingkah laku kita dapat mengganggu keseimbangan dalam pergaulan hidup sehingga jauh dari kerukunan hidup antar umat beragama, bahkan seagama.
Dalam upaya untuk mengenal dan lebih memahami salah satu kehidupan beragama di Indonesia, maka perlu diketahui pula keberadaan salah satu ‘agama asli’ yang masih hidup dan dianut oleh sebagian masyarakat Umalulu di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yaitu agama Marapu.

Gambaran Umum Umalulu

Umalulu merupakan suatu wilayah yang lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda, Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo atau Kerajaan Melolo. Kini wilayah Umalulu menjadi kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara keseluruhan keadaan geografis wilayah Umalulu terdiri dari daerah berbukit-bukit dan sabana (padang rumput), dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian dan perkebunan. Suatu hal yang menguntungkan ialah adanya sungai Umalulu yang mengalir di wilayah itu dan selalu berair walaupun pada musim kemarau. Di sekitar tepi sungai itulah penduduk Umalulu mendirikan tempat pemukiman mereka dan membuka ladang.
Sebagian besar penduduk Umalulu hidup dari bercocok tanam di ladang (jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan) dan beternak (babi, kuda, kerbau, ayam). Sumber penghasilan lain adalah membuat kain tenun yang lebih terkenal dengan sebutan “kain Sumba”.
Prinsip keturunan masyarakat Umalulu berdasarkan prinsip patrilineal (patrilinel descent), yaitu prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja. Mereka mengenal empat macam kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga inti (nuclear family) yang disebut biliku, yaitu terdiri dari sepasang suami istri dengan anak-anaknya yang belum kawin. Kelompok kekerabatan lainnya ialah rumah tangga (household) dan disebut ukuruma, yang merupakan kelompok kekerabatan yang menjalankan ekonomi rumah tangga dan sebagai kesatuan yang melakukan usaha-usaha produktif. Kemudian ada yang disebut uma, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya. Mereka berdiam di dalam satu rumah besar yang disebut uma juga. Berdiam dalam uma milik ayahnya adalah suatu hal yang sesuai dengan adat menetap sesudah kawin yang virilokal. Kelompok kekerabatan yang terbesar ialah kabihu (keluarga luas, clan), yaitu terdiri dari beberapa uma yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja. Kelompok kekerabatan ini serupa seperti yang oleh Koentjaraningrat disebut patrilineal minimal lineage (1977:119-121).
Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung. Secara tradisi yang menguasai tanah dalam suatu paraingu ialah kabihu-kabihu yang diakui sebagai mangu tanangu (penguasa tanah) di wilayah itu, yaitu terdiri dari kabihu ratu (klen pendeta) dan kabihu maramba (klen bangsawan). Kedua kabihu tersebut merupakan kesatuan sebagai pemegang kekuasaan yang meliputi semua bidang kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan kuataku dikepalai oleh seorang mangu kuatakungu (penguasa kampung, kepala kampung). Selain itu pada masyarakat Umalulu dikenal pula adanya sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada dedi (keturunan), yaitu ratu (pendeta), maramba (raja, bangsawan), kabihu (orang bebas) dan ata (hamba).
Kedudukan dan peranan suatu kabihu dalam masyarakat Umalulu sangat besar pengaruhnya pada pola kekuasaan dalam masyarakat tersebut. Jabatan penting dalam pemerintahan adat selalu dipegang oleh orang-orang dari kabihu tertentu secara turun temurun. Setiap kabihu dalam suatu paraingu mempunyai hak dan kewajiban masing-masing tergantung pada tradisi serta sejarah leluhurnya. Walaupun kini wilayah Umalulu tidak lagi merupakan suatu wilayah yang berada di bawah satu pemerintahan adat, tapi bila ada hal-hal yang bersangkutan dengan adat maka sistem pemerintahan secara adat masih tetap berlaku. Pemerintahan secara adat itu kini berpusat di kampung Umabara yang terletak di desa Watu Hadangu.



Agama Marapu

Makna istilah “agama” sering menimbulkan banyak kontroversi yang lebih besar daripada arti penting permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi” (Koentjaraningrat, 1974:137-142). Untuk menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam pembahasan ini akan digunakan istilah “agama” saja untuk menyebut suatu sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan tersebut penulis tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi terlepas dari kekeramatan dan kesucian yang terkait padanya secara dogmatis. Hendak melihat suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku.
Secara umum, Parsudi Suparlan (Robertson,1988:v-xvi) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Sebagai inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan, sistem keyakinan itu telah berakar dalam kehidupan mereka. Itulah sebabnya menurut Koentjaraningrat (1974:13,32-33) nilai-nilai tersebut sukar diganti dengan nilai-nilai lain.
Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship). Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Marapu Ratu yang dipuja di Umalulu adalah Marapu Ratu Umbu Endalu dan biasa disebut dengan kiasan Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu (rumah tak berpenghuni-tangga tak berpijak), yang merupakan juga nama tempat pemujaan terhadap Marapu Ratu tersebut. Kehadiran para marapu di dunia nyata dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak, ada pula berupa patung atau guci yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Khusus untuk Marapu Ratu Umbu Endalu dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut sebagai Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu.
Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Dalam hal ini mereka memberikan contoh bahwa untuk bertemu atau berhubungan dengan manusia lainnya saja (misalnya raja atau pejabat), kita harus melalui berbagai prosedur birokrasi yang rumit seperti harus terlebih dahulu melalui seorang wakil atau para pembantunya dan sebagainya. Apalagi bila hendak berhubungan dengan Yang Maha Esa, tentunya hal itu tidak mudah dilakukan begitu saja. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan) antara manusia dengan Tuhannya.
Selain memuja arwah leluhur, bentuk agama yang disebut Marapu ini percaya juga akan bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja (animisme), percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia (animatisme), dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa (dynamisme). Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, masyarakat Umalulu melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan kegoncangan yang membahayakan.
Berdasarkan kepercayaan dalam agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala Nuku-hara (hukum dan cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa (roh suci). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula.
Walaupun dalam budaya Sumba tidak mengenal bahasa tulisan, masyarakat Umalulu mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.
Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama upacara penguburan, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan bila dibandingkan dengan kehidupan mereka yang serba ‘kekurangan’. Sikap dan tindakan tersebut terutama timbul oleh adanya sifat bersaing dalam hal meninggikan status sosial kabihu mereka masing-masing. Hal ini pulalah yang sering dianggap pejabat pemerintah sebagai pemborosan sumber daya dan penghalang bagi pembangunan ekonomi. Namun bagi masyarakat Umalulu, hal tersebut mereka lakukan untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan diantara mereka.
Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa seni merupakan pengiring bagi religi mereka.


Perubahan Dewasa Ini

Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan sampai dewasa ini agama asli mereka mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan mereka terutama di kalangan masyarakat desa. Agama Marapu adalah inti kebudayaan mereka. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Menurut Widijatmika (1980:11-12), dalam perkembangannya masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Pekabaran atau penyebaran agama Kristen sudah sejak tahun 1881 dilancarkan, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba, namun itu pun tak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk beralih agama (Kapita,1976:80). Selain itu sekolah-sekolah dari pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Umalulu) berupa Volks school (Widijatmika,1980:33). Meskipun demikian ternyata usaha-uasaha tersebut belum mendapat hasil yang memuaskan.
Berdasarkan asumsi bahwa kehidupan di dunia selalu berubah. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang tidak berubah. Demikian pula tidak ada kebudayaan yang statis secara absolut. Dengan kata lain, perubahan itu konstan dalam kebudayaan manusia. Perbedaannya hanya ada perubahan kebudayaan yang cepat dan ada perubahan yang lambat, hal mana tergantung pada latar belakang stabilitas kebudayaan dan juga hubungannya dengan kemungkinan adanya penolakan akan perubahan. Menurut Geertz agama pun dapat mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan atau sistem-sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri tidak berubah (dalam Robertson,1988:XII). Mengingat bahwa di dalam masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka di dalam sistem keyakinan yang dianut masyarakat Umalulu pun mungkin saja akan atau dapat berubah sejalan dengan proses dan berkembangnya perubahan sosial-budaya pada masyarakat yang bersangkutan. Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau bisa juga dengan jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka sebagai sesuatu hal yang ‘harus dilakukan’.
Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini rupanya sudah sering pula dilakukan "pihak luar". Akan tetapi, sejauh itu pula tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti hingga tahun 1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu (Soeriadiredja,1983:49). Namun perkembangan selanjutnya (terutama sejak tahun 1990-an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut tidak akurat dan mengungkapkan yang sebaliknya. Kini sebagian besar dari mereka (+/- 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam “KTP” saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Bila mereka memilih agama “KTP” mereka adalah Kristen dan bukan agama lain, alasannya karena agama Kristen tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah. Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka „terpaksa“ beralih agama untuk alasan tersebut, tapi rupanya mereka tak banyak punya pilihan.
Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, katakanlah sebagai jalan yang ‘kompromistis’, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah dan sebagainya. Menurut Soeriadiredja sikap dan tindakan yang kompromistis itu merupakan proses inversi pada masyarakat yang pada kebudayaannya mempunyai prinsip-prinsip struktural berdasarkan pembagian dyadic-triadic (1983:405-409). Proses inversi ini dapat ditafsirkan sebagai pengolahan lingkungan-lingkungan yang berlawanan oleh kebudayaan pada suatu masyarakat yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang tajam. Melalui inversi akan tercakuplah lingkungan yang satu ke dalam lingkungan yang lain, dan ambivalensi alam tengah mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis.
Bagi masyarakat Umalulu, sejalan dengan pendapat O’dea (1985:216), agama merupakan salah satu bentuk “perlindungan budaya” melalui mana -- secara sadar atau tidak-- ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat diredakan. Di satu pihak mereka ingin tetap dengan agama dan ketradisionalan mereka sendiri, tapi dari sudut pandang lain mereka seperti mengikuti pendapat bahwa agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan yang sudah usang (Nottingham:1985:4). Masalahnya kemudian adalah apakah mereka akan ‘bersembunyi’ terus di balik kepentingan ‘target statistik’ ? Apakah yang berbau milik “pribumi” atau “asli lokal” harus selalu tersingkir dan musnah ?
Mungkin mereka belum dan harus mengetahui bahwa dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 18 tercantum :
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; hak ini mencakup pula kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan, mengamalkan, beribadah dan melakukan upacara, baik sendiri maupun bersama-sama, secara terbuka atau tertutup”.




Daftar Pustaka

Banton, Michael (ed)
Anthropological Approaches to the Study of Religion, Tavistok Publications, London, 1968.
Dove, Michael R. (ed)
Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Kapita, Umbu Hina
Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976.
Koentjaraningrat
Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974.
--------Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, 1977.
Nottingham, Elizabeth K.
Agama dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
O’dea, Thomas F.
Sosiologi Agama, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
Robertson, Roland (ed)
Agama:Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, CV Rajawali,Jakarta,1988
Soeriadiredja, P.
Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983.
Widijatmika, Munandjar
Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur, LP Undana,Kupang,1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar