Selasa, 09 Desember 2008

Structuralism

Strukturalisme Levi-Strauss


Strukturalisme Levi-Strauss banyak mengambil model dari linguistik dalam memandang dan menganalisis fenomena sosial-budaya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai asumsi dan data yang dihadapi oleh ahli-ahli antropologi yang ingin memahami variasi masyarakat dan kebudayaan yang begitu besar.


Claude Levi-Strauss, sebuah nama yang bagi telinga saya kedengaran agak eksotis tapi mempunyai kesan tersendiri, dikenal sebagai seorang pelopor Strukturalisme dalam ilmu antropologi yang sangat berpengaruh. Bagaimana Strukturalisme Levi-Strauss ini sebenarnya ? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu mengetahui asumsi-asumsi, model-model, dan berbagai macam konsep yang ada dalam aliran itu. Namun sebelum menguraikan hal-hal tersebut, akan diuraikan terlebih dahulu beberapa problema pokok yang dihadapi antropologi pada masa Levi-Strauss.

Pada awal abad ke-20 teori-teori evolusi dianggap tidak dapat menjawab secara memuaskan atas pertanyaan mengapa ada perkembangan yang tidak setaraf dalam berbagai masyarakat di dunia. Kritik yang biasa dilontarkan kepada kaum evolusionis itu intinya dalam karya-karya mereka ada kekurangan serius yang telah menyatakan bahwa semua kebudayaan menempuh runtunan tahap-tahap perkembangan yang sama. Mereka dianggap tidak humanistis dan sangat etnosentris. Akan tetapi menurut Kaplan (1999:53-54), para kritikus itu kurang memberi bobot pada situasi historis khusus yang melatarbelakangi karya-karya para evolusionis tersebut. Pertama, harus diingat bahwa pada saat itu para evolusionis sedang berjuang untuk menegakkan suatu kajian naturalistik tentang fenomena kultural. Kedua, para evolusionis berhadapan dengan kekurangan data empiris yang andal. Jadi tuduhan itu sebenarnya kurang tepat pada sasaran.

Berhubungan dengan hal tersebut, Levi-Strauss pun melontarkan kritiknya dengan menyatakan bahwa para evolusionis dan difusionis sangat etnosentris, yang telah menganggap ‘peradaban Barat’ sebagai ekspresi tahap evolusi masyarakat yang paling maju, sedangkan masyarakat primitif dianggap sebagai kelompok ‘survivals’. Akan tetapi, menurut Levi-Strauss pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu, karena setiap masyarakat mempunyai tahap-tahap perkembangannya sendiri dan tidak bisa dibandingkan begitu saja. Demikian pula dengan adanya kesamaan salah satu unsur kebudayaan di suatu tempat, bukan berarti unsur kebudayaan itu berasal dari tempat yang sama, karena setiap ‘sesuatu’ itu merupakan produk dari suatu sistem representasinya sendiri. Selain itu pandangan bahwa masyarakat manusia dapat dianalogikan semacam spesies botani dan hewan, seperti yang dikemukakan oleh Tylor, harus ditinggalkan (Levi-Strauss,1969:3-4).

Kritik lainnya adalah bahwa para evolusionis dalam tujuan mencapai generalisasi telah mengabaikan ‘detailed history’. Menurut Levi-Strauss, justru perincian sejarahlah yang dapat menjawab keraguan obyek studi antropologi, sehingga kita akan mengetahui apakah suatu fenomena itu sebenarnya. Lebih lanjut Levi-Strauss mengemukakan bahwa interpretasi para evolusionis dan difusionis dalam menginterpretasi serta menyimpulkan suatu fenomena sejarah tidak pernah berhasil karena mereka mengabaikan pula siapa si pembuat sejarah itu sendiri. Mereka hanya membandingkan, berspekulasi dan merekonstruksi suatu fenomena sejarah yang bukan merupakan refleksi tentang kesatuan yang sebenarnya dari suatu obyek. Kemudian Levi-Strauss menyatakan “The ‘cycles’ or cultural ‘complexes’ of the diffusionist, like the ‘stages’ of the evolusionist, are the product of an abstraction that will always lack the corroboration of empirical evidence. Their history remains conjectural and ideological” (1969:5-6).

Mengenai evolusi itu sendiri Levi-Strauss menyatakan, ‘Adanya manusia di bumi adalah satu episode, satu episode di mana kebudayaan itu makin meluas, kemudian dengan satu dan lain cara akan binasa bersama manusia. Evolusi kehidupan di bumi adalah pengembangan yang dimungkinkan karena bumi menjadi dingin. Manusia dan kebudayaannya hanya bisa mempunyai satu tujuan akhir, kemusnahan terakhir’ (van Baal,1988:151).

Tujuan antropologi sebagai ilmu pengetahuan sosial-budaya adalah mencapai generalisasi ilmiah secara empiris dengan melakukan studi perbandingan tentang bermacam gejala sosial-budaya pada berbagai suku-bangsa di dunia. Metode perbandingan seperti itu dikenal sebagai metode cross-cultural comparison (perbandingan silang budaya) yang telah dimulai oleh E.B.Tylor dan dikembangkan oleh G.P.Murdock dengan menggunakan data dari ratusan kebudayaan di dunia. Meskipun data yang terkumpul sudah cukup banyak, tapi ada berbagai hambatan teoritis dan metodologis yang belum terpecahkan. Menurut Goodenough seperti yang diungkapkan oleh Ahimsa-Putra (1994:38-39), hambatan yang paling mendasar ialah kenyataan bahwa data yang terkumpul itu tidak seragam karena para ahli antropologi sering menggunakan konsep yang sama namun dengan pemaknaan yang berbeda. Akibatnya, data mengenai hal yang dianggap sama tidak dapat dibandingkan. Untuk menghadapi masalah pelukisan kebudayaan, beberapa ahli antropologi mencoba memecahkannya dengan model dari ilmu linguistik.

Model linguistik yang digunakan adalah fonologi, yaitu ilmu tentang fonem, yang mengenal dua cara pendeskripsian bunyi bahasa, antara lain secara fonetik dan fonemik. Alasan mengapa model linguistik ini diambil, Ahimsa-Putra (1994:39-41) menambahkan bahwa hal itu disebabkan apa yang dihadapi oleh ahli bahasa mirip dengan apa yang dihadapi oleh ahli antropologi. Dalam melukiskan kebudayaan yang ditelitinya, seorang ahli antropologi perlu menggunakan simbol dan cara yang relatif bersifat universal, tapi di pihak lain deskripsi kebudayaan tersebut perlu juga mengikuti makna atau pandangan yang diberikan oleh pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Cara pelukisan semacam itu dalam ilmu antropologi dikenal sebagai pelukisan etik dan emik. Implikasi penting yang dihadapi para ahli antropologi dengan cara tersebut ialah (1) selain mendeskripsikan suatu fenomena sosial-budaya dari sudut pandangnya sebagai ahli antropologi, ia harus juga berusaha mendeskripsikannya dari sudut pandang masyarakat yang ditelitinya, (2) mengadakan pengamatan dan wawancara mendalam dengan individu-individu pendukung kebudayaan yang diteliti, (3) wawancara sebaiknya dilakukan dalam bahasa setempat.

Dalam antropologi struktural yang dipelopori oleh Levi-Strauss, model linguistik tersebut digunakan sebagai model konseptual guna memahami kebudayaan, dan salah satu asumsi yang terpenting adalah pandangannya tentang manusia dan tindakannya. Seperti diketahui walaupun manusia secara biologis termasuk dunia hewan, namun perbedaan utama antara manusia dengan hewan ialah bahwa manusia dapat menggunakan akalnya untuk berpikir. Dengan kemampuannya itu manusia dapat berpikir secara abstrak, kompleks dan konsepsional, serta menyadari akan dimensi waktu yang lampau, sekarang dan akan datang. Berpikir pada manusia erat hubungannya dengan kemampuannya menggunakan simbol, yaitu suatu kemampuan yang dapat memberikan arti yang hampir tidak terbatas kepada seluruh obyek material. Kemampuan bersimbol ini menyebabkan manusia dapat berbahasa dan berkomunikasi. Sehingga tidak heran bila Ernst Cassirer (1979), yang pendapatnya banyak dikutip banyak ilmuwan itu, menyatakan bahwa manusia hidup di dalam dunia simbolik dan menyebut manusia sebagai animal symbolicum. Dikemukakannya pula, “that symbolic thought and symbolic behavior are among the most characteristic features of human life, and that the whole progress of human culture is based on these conditions, is undeniable” (Cassirer,1979:25-27).

Demikian pula halnya dengan Levi-Strauss, dalam pandangan Levi-Strauss akal manusia – yang merupakan sarana untuk menciptakan kebudayaan – menggunakan logika yang relatif sederhana untuk menciptakan sistem simbol (Keesing,1992:118). Manusia dengan menggunakan berbagai macam tanda dan simbol yang diciptakannya itu dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Kemampuan manusia dapat melakukan penandaan (signifikasi) dan pelambangan (simbolisasi) ini digunakannya sebagai wahana untuk menyampaikan pesan-pesan yang diinginkannya, atau sebagai sesuatu yang bersifat simbolis, yang dapat dimaknai. Dengan demikian manusia adalah makhluk yang dipandang mampu menciptakan dan mengembangkan berbagai wahana simbolik untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pihak yang lain. Kemampuan melakukan pemaknaan itu mempunyai implikasi bahwa kehidupan manusia merupakan kehidupan yang penuh dengan makna, sehingga fenomena sosial-budaya dapat dikatakan sebagai fenomena simbolik karena fenomena-fenomena yang ada oleh pelakunya dimaknai. Dengan berlandaskan kemampuan menggunakan tanda dan simbol itu pulalah keseluruhan kehidupan manusia dapat ditanggapi sebagai sebuah peristiwa komunikasi, dan karenanya fenomena sosial-budaya merupakan juga fenomena komunikasi. Bila dilihat dari perpektif tersebut maka fenomena sosial-budaya sebenarnya merupakan fenomena kebahasaan pula. Dalam arti fenomena kebahasaan itu dapat dilihat sebagai suatu perangkat tanda dan simbol yang “memiliki makna” atau “diberi makna” (disadari atau tidak) oleh si pemberi makna itu sendiri (Ahimsa-Putra,1999b:89). Maka, lanjut Ahimsa-Putra, suatu model yang paling pas untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial-budaya adalah model bahasa, karena bahasa merupakan fenomena simbolik. Perlu diperhatikan bahwa dalam perpektif ini tanda dibedakan dengan simbol, karena tanda tidak memiliki makna referensial (makna acuan), sedangkan simbol memilikinya. Makna suatu simbol adalah apa yang diacunya, referentnya, sedangkan makna tanda terletak pada relasinya dengan tanda-tanda yang lain (Ahimsa-Putra,1999b:89-90).

Sebagai fenomena simbolik, fenomena sosial-budaya walaupun dimaknai oleh pelakunya, tidak selalu dapat dijelaskan dinamikanya oleh para pelakunya itu sendiri. Hal yang sama terjadi dengan fenomena bahasa. Dalam berbahasa, orang tidak bisa menjelaskan bagaimana mereka itu berbahasa. Penutur suatu bahasa sama sekali tidak menyadari aturan fonologis dan ketatabahasaan yang ada di balik pola tutur yang terungkapkan, tetapi mereka mampu menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Bisa dikatakan ada sesuatu yang ‘tidak disadari’ yang mengendalikan perilaku manusia. Seperti yang dikatakan Kaplan-Manners (1999:239) sebagai aturan-aturan yang bereksistensi dalam realitas di luar pikiran yang bersifat ‘bawah sadar’ (subconscious). Maka tugas ahli bahasa adalah berupaya merumuskan kaidah-kaidah struktural yang mendasari dan berlaku umum sebagai penopang segala bahasa. Dari sinilah tampaknya Levi-Strauss mendapatkan inspirasi pokok untuk mengkonstruksi model-model relasi dalam kebudayaan. Mencari sistem relasi yang tak kelihatan (struktur) di balik gejala-gejala nyata (Cremers,1997:18), untuk menjelaskan fenomena sosial-budaya yang bersifat discontinue itu.

Levi-Strauss, seperti yang diungkapkan Ahimsa-Putra (1994:41-42), mengemukakan bahwa antropologi perlu mencapai status ilmiah dengan berusaha mencapai pemahaman yang universal tentang gejala sosial-budaya dengan melakukan generalisasi untuk mencapai perbandingan. Generalisasi dalam hal ini adalah generalisasi konsep yang bersifat umum dan dapat mencakup beberapa gejala budaya yang mirip serta memungkinkan untuk melakukan perbandingan gejala yang sama dalam berbagai kebudayaan. Selain itu antropologi bertujuan pula mendapatkan koherensi di belakang berbagai gejala sosial-budaya, mencari struktur yang ada di balik fenomena budaya. Asumsinya, bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah yang ada di balik ‘kenyataan’ itu sendiri, yang tidak dapat dilihat oleh indera manusia, tapi dapat dilihat perwujudannya, dan biasanya disebut struktur. Dalam hal ini Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai produk dari struktur yang mendasarinya, yaitu mengenai keseluruhan bagian-bagian yang membentuk keseluruhan itu (van Baal,1988:121). Adapun langkah yang dapat ditempuh untuk mendapatkan struktur yang ada di balik kenyataan tersebut, antropologi harus berusaha membangun konsep-konsep baru guna memahami bermacam fenomena yang ada, dan langkah itu mengambil model-model dari linguistik.

Dalam analisis struktural, struktur dibedakan menjadi dua macam, yaitu struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar ialah susunan unsur-unsur yang dapat kita buat atau bangun atas dasar ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari unsur-unsur tersebut. Struktur dalam ialah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah dapat dipahami berbagai fenomena budaya yang dipelajari (Ahimsa-Putra,1999b:92).

Konsep penting lainnya ialah transformasi. Transformasi (alih rupa) menunjuk pada berubahnya sesuatu, tapi (seolah-olah) tanpa melalui suatu proses, atau proses tersebut tidak dipandang penting. Dengan kata lain, suatu transformasi adalah pergantian yang terjadi hanya pada permukaan atau wadah, bukan pada isi. Tranformasi harus dibedakan dengan ‘perubahan’ (change), karena ‘perubahan’ terkandung pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang dan waktu tertentu. Analisis struktural Levi-Strauss pada dasarnya dapat diterapkan pada setiap gejala budaya, dan bertujuan untuk menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu pula, analisis struktural tidak berbicara tentang proses perubahan. Hal ini tidak berarti bahwa strukturalisme menolak atau anti terhadap proses perubahan. Analisis struktural memang tidak memusatkan perhatiannya pada masalah perubahan, tapi pada masalah keberadaan struktur (Ahimsa-Putra,1999b:93).

Konsep Levi-Strauss mengenai azas klasifikasi elementer, merupakan konsep Levi-Strauss tentang bagaimana manusia dengan menggunakan akalnya mengklasifikasikan seluruh alam semesta di sekelilingnya beserta isinya. Suatu hal yang paling pokok dalam pandangan ini adalah membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras bertentangan, atau merupakan kebalikannya, yaitu suatu cara yang disebut binary opposition (oposisi berpasangan). Dua golongan ini bersifat mutlak (mis: bumi-langit, pria-wanita), bisa pula bersifat relatif (mis: kiri-kanan, orang dalam-orang luar). Pada oposisi tipe pertama tiap pihak dalam pasangan saling menempati kedudukan yang tetap dan mutlak. Sedangkan pada oposisi tipe relatif, satu pihak dalam pasangan menempati kedudukan tertentu terhadap pihak lawannya, tetapi bisa juga menempati kedudukan lawannya itu terhadap pihak ketiga. Tipe klasifikasi ke dalam dua golongan beroposisi ini secara universal ada dalam hampir semua kebudayaan di dunia (Koentjaraningrat,1982:229).



Binary opposition, relief in Sukuh Temple (photo by Wisnu Broto)

Demikianlah, bagi Levi-Strauss dan juga para pengikut aliran strukturalisme Levi-Strauss , langkah ilmu antropologi dengan ‘meminjam’ model-model dari ilmu linguistik tersebut sudah tepat. Alasan Levi-Strauss mengambil model dari linguistik ini karena baginya linguistik merupakan disiplin ilmu budaya yang nampaknya paling jelas mendemonstrasikan kebebasan manusia (van Baal,1988:118), dan sudah mencapai tingkat science. Satu-satunya ilmu mengenai manusia yang telah berhasil mengembangkan metode analisis yang eksak, ilmu yang telah menganalisis penggunaan bahasa yang tidak disadari. Sebagai ilmu yang mempelajari relasi antar elemen, memperkenalkan konsep sistem, dan juga berusaha mencapai hukum-hukum universal secara induksi maupun deduksi (Ahimsa-Putra,1994:42, van Baal,1988:121-122). Maka dengan mengikuti cara analisis dan mengambil alih beberapa konsep dari linguistik itu, Levi-Strauss yakin bahwa ilmu antropologi dapat mencapai tingkat “ilmiah” dan lebih “obyektif”, tanpa harus kehilangan sentuhan kemanusiaannya (Ahimsa-Putra,1997b:xlv).

Bagi Levi-Strauss, aliran Strukturalisme yang dikemukakannya sebenarnya bukan hanya suatu Teori Kebudayaan saja, tetapi juga merupakan sebuah Epistemologi, yang berbeda dengan Epistemologi dalam Antropologi sebelumnya. Strukturalisme Levi-Strauss merupakan sebuah Epistemologi baru, dan mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan Epistemologi sebelumnya.


“Strategi dan hasil analisis semacam itu, setahu saya tidak terdapat dalam paradigma antropologi lain seperti Diffusi Kebudayaan, Evolusi Kebudayaan, Hermeneutik Kebudayaan, ataupun Fungsionalisme-Struktural”, begitu puji Ahimsa-Putra (1999b:93) terhadap keistimewaan pendekatan struktural Levi-Strauss dalam menganalisis fenomena sosial-budaya. Salah satu keistimewaan pendekatan struktural Levi-Strauss, menurut Ahimsa-Putra, dengan adanya model-model yang dibuat oleh peneliti secara analisis struktural akan membuka kemungkinan untuk dirumuskannya prakiraan mengenai transformasi fenomena sosial-budaya yang pernah terjadi dalam masyarakat di masa lampau dan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.


Demikian pula halnya dengan Edmund Leach yang mengagumi banyak karya Levi-Strauss, mengatakan ; “Dalam pandangan saya, bagian yang sungguh berharga dari sumbangan Levi-Strauss bukanlah pencarian formalistik untuk menemukan pasangan-berlawanan (binary opposition) dan permutasi serta kombinasi yang berganda itu, melainkan lingkup asosiasi yang betul-betul puitis yang terungkap sepanjang analisis yang dilakukannya”. Dan banyak lagi pujian yang dilontarkan pada kepakaran dan kepiawaian Levi-Strauss dengan analisis strukturalnya. Walaupun demikian, banyak pula rupanya para ahli yang tidak sependapat dengan pandangannya itu, seperti yang diutarakan oleh Kaplan-Manners (1999:250) bahwa “kami melihat bahwa penerimaan sepenuh gairah atas karya Levi-Strauss – di dalam maupun luar antropologi – lebih banyak disebabkan oleh pertimbangan estetik dan kepuasan psikologis yang dapat diperoleh dari sana, ketimbang oleh faedah teori-teori itu sendiri”. Atau yang dikemukakan oleh van Baal (1988:127), bahwa dalam analisisnya, Levi-Strauss telah melalui berbagai jalan yang menyesatkan, bahkan membuat kesalahan-kesalahan dan menciptakan berbagai permasalahan semu,……kesesatan itu adalah sebagian juga akibat dari kurang baiknya bahan yang digunakan.


Terlepas dari berbagai pujian atau kecaman terhadap strukturalisme Levi-Strauss, dan sejalan dengan pendapat Ahimsa-Putra (1997b:xlv) bahwa dalam antropologi, paradigma strukturalisme Levi-Strauss telah membawa angin perubahan yang sangat penting dan luas dampaknya, karena antropologi struktural yang diperkenalkan oleh Levi-Strauss juga mengandung epistemologi baru di dalamnya. Seperti yang dikemukakan pula oleh Ino Rossi (1974:62-63), Levi-Strauss not only makes explicit his own epistemological premises and shows the epistemological deficiencies of alternative socioanthropological perspectives, but he also defines his approach as an epistemology rather than a method.


Beberapa perubahan penting yang telah dan tengah terjadi dalam antropologi budaya dan merupakan juga kelebihan dari epistemologi sebelumnya antara lain :
Pertama, munculnya epistemologi strukturalisme Levi-Strauss sebagai epistemologi baru yang membuat antropologi lebih dekat ke bidang humaniora, dan menyempal dari tradisi yang selama ini mendominasi pemikiran ahli antropologi, yaitu epistemologi positivisme (Ahimsa-Putra,1997b:xlv). Seperti diketahui bahwa epistemologi yang positivistik melihat fenomena sosial-budaya sebagai bagian dari fenomena alam, sebagai dunia empiris yang terikat oleh ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati oleh pancaindera manusia. Fenomena sosial-budaya seperti halnya dengan fenomena alam lainnya yang ada di dunia ini merupakan fakta obyektif yang satu sama lain berhubungan secara kausal. Dalam hal ini Koentjaraningrat, seperti yang diungkapkan oleh Ahimsa-Putra (1997a:46-47), menyatakan bahwa gejala sosial-budaya merupakan bagian dari tatanan alami (natural order) sehingga akan tunduk pula pada hukum-hukum alam tertentu. Selain itu Antropologi Budaya sebagai ilmu pengetahuan sosial-budaya yang berupaya memperoleh pengetahuan yang predictive dan explanatory dari berbagai gejala sosial-budaya itu tidak menjadi ilmu yang deskriptif saja, tetapi juga mampu merumuskan generalisasi-generalisasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai prosedur dan metode penelitian serta analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam dapat diterapkan dalam ilmu Antropologi Budaya, misalnya mulai dari pengamatan, pendeskripsian, klasifikasi, generalisasi hingga verifikasi.
Sedangkan menurut Levi-Strauss hal tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Dengan strukturalismenya, Levi-Strauss bermaksud membangun sebuah landasan pemikiran dan cara analisis baru yang lebih kokoh bagi disiplin antropologi yang diharapkannya menjadi sebuah disiplin yang lebih ilmiah dan lebih obyektif tanpa harus kehilangan sentuhan kemanusiaannya. Untuk mencapai status ilmiah, antropologi berusaha mencapai pemahaman yang universal tentang berbagai gejala sosial-budaya dengan melakukan generalisasi konsep untuk mencapai perbandingan. Dengan adanya konsep yang bersifat general, maka dapat mencakup beberapa gejala budaya yang mirip dan memungkinkan dilakukannya perbandingan gejala yang sama dalam berbagai kebudayaan. Selain itu juga mendapatkan koherensi di belakang berbagai gejala sosial-budaya, mencari logika, mencari struktur yang ada di balik fenomena budaya. Untuk bisa mendapatkan struktur yang ada di balik kenyataan itulah antropologi menekankan pada usaha membangun konsep-konsep baru untuk memahami fenomena sosial-budaya dengan mengambil model-model dari linguistik, karena menurut Levi-Strauss, linguistik merupakan disiplin ilmu yang sudah mencapai tingkat “ilmiah” (Ahimsa-Putra,1994:41-42). Di sinilah letak perbedaan mendasar antara antropologi struktural Levi-Strauss dengan strukturalisme-fungsional Radcliffe-Brown yang banyak mengambil model dari biologi, atau pun antropologi struktural Belanda (Ahimsa-Putra,1997b:xlv).


Kedua, antropologi menjadi sebuah disiplin yang makin jelas warna filsafatnya. Sebenarnya antropologi sudah sejak semula bersifat filosofis, misalnya saja tentang ‘relativisme kebudayaan’, tetapi dengan munculnya karya-karya Levi-Strauss, kecenderungan filosofis ini semakin menonjol. Misalnya saja dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut. “Strukturalisme menyadari dan menemukan kembali semua kebenaran mendalam yang menyingkapkan diri secara samar-samar dalam badan itu sendiri. Strukturalisme mendamaikan kembali hubiungan antara yang fisis dan yang moral, alam dan manusia, akal dan dunia, serta cenderung menjadi satu-satunya jenis materialisme yang konsisten dengan perkembangan aktual pengetahuan ilmiah. Semua kebudayaan ini mendorong kita untuk menolak pemisahan artifisial antara yang inteligibel dan yang sensibel sebagaimana dinyatakan oleh suatu empirisme dan mekanisme yang sudah ketinggalan zaman, serta membawa kita berani menemukan keselarasan tersembunyi antara upaya manusia untuk terus-menerus mencari makna dan dunia tempat manusia muncul dan meneruskan hidup, yaitu dunia yang terdiri dari segala bentuk, warna, tekstur, rasa dan bau. Strukturalisme mengajarkan kita untuk lebih mencintai alam dan segala makhluk hidup yang mendiaminya, berdasarkan pemahaman bahwa semua tumbuhan dan binatang betapapun rendahnya bukan hanya menjadi persediaan makanan bagi manusia, tetapi sejak semula juga merupakan sumber segala perasaan estetis manusia yang paling dalam” (Levi-Strauss,1997:141-142).

Ketiga, munculnya kembali semangat mempelajari manusia secara mendalam melalui studi perbandingan yang mencakup berbagai macam suku bangsa di dunia, dengan memanfaatkan ratusan data etnografis yang telah berhasil dihimpun para ahli antropologi dari berbagai kawasan di muka bumi. Perspektif yang ditawarkan Levi-Strauss merupakan sebuah perspektif yang akan memungkinkan para ahli antropologi dapat melihat pola hutan itu kembali (Ahimsa-Putra,1997b:xlvi).



Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Antropologi Koentjaraningrat : Sebuah Tafsir Epistemologi, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Masinambow (ed), AAI-Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1997a.

Arca Ganesya dan Strukturalisme Levi-Strauss : Sebuah Analisis Awal, dalam Cerlang Budaya, Rahayu S.Hidayat (ed), Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LPUI, Depok, 1999a.

Ekonomika Manusia Jawa : Agama dan Perilaku Ekonomi dalam Perspektif Antropologi Struktural, dalam Gerbang, vol.05, No. 02, Oktober-Desember, Surabaya, 1999b.

Claude Levi-Strauss : Butir-butir Pemikiran Antropologi, dalam Levi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, Octavio Paz, LkiS, Yogyakarta,1997b.

Model-model Linguistik dan Sastra dalam Antropologi, dalam Buletin Antropologi, th.IX, UGM, Yogyakarta, 1994.
Cassirer, Ernst
An Essay on Man, Yale University Press, 30th printing, London, 1979.
Cremers, Agus & John de Santo
Memperkenalkan Claude Levi-Strauss, dalam Mitos,Dukun & Sihir, C. Levi-Strauss, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
Kaplan, David dan Albert A.Manners
Teori Budaya , Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999
Keesing, Roger M.
Antropologi Budaya : Suatu Perspektif Kontemporer, jilid 2, Erlangga,
Jakarta,1992.
Koentjaraningrat
Sejarah Teori Antropologi I , Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,1982.
Krampen, Martin
Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi, dalam Serba-serbi Semiotika, Panuti Sudjiman & Aart van Zoest, Gramedia, Jakarta, 1992.
Levi-Strauss, Claude
Mitos, Dukun dan Sihir, terjemahan Agus Cremers & John de Santo, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
Myth and Meaning, Routledge & Kegan Paul, London, 1978.
Structural Anthropology, Allen Lane The Penguin Press, London, 1969.
Paz, Octavio
Levi-Strauss : Empu Antropologi Struktural, LkiS, Yogyakarta,1997.
Pettit, Philip
The Concept of Structuralism : a critical analysis, Univercity of California Press, Los Angeles, 1977.
Radcliffe-Brown,A.R.
Structure and Function in Primitive Society, Routledge & Kegan Paul,
London, 1952.
Rossi, Ino (ed)
The Unconscious in Culture, E.P.Dutton&Co.,Inc, New York, 1974.
Seymour-Smith, Charlotte
MacMillan Dictionary of Anthropology, Macmillan Press Ltd., London, 1986.
van Baal, J.
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya , jilid 2,
PT Gramedia, Jakarta, 1988.
Walsh, David
Varieties of Positivism, dalam New Directions in Sociological Theory, Collier-Macmillan, London, 1972.
Yusuf, Suhendra
Fonetik dan Fonologi, Gramedia, Jakarta, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar