Rabu, 24 Juni 2009

MARAPU part 3


Kelompok-kelompok Keagamaan.

Di dalam masyarakat Umalulu dapat dikatakan tidak ada satu segi kehidupan yang tidak diliputi oleh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir seseorang dipersiapkan untuk melayani kepentingan Marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh Marapu. Demikian pula ketika anak-anak itu mulai menginjak masa remaja atau masa dewasa. Mereka diwajibkan turut berpartisipasi dalam berbagai upacara, misalnya membantu orang tuanya mempersiapkan sesaji atau mewakili untuk menghadiri suatu upacara karena orang tuanya sedang berhalangan.
Ketika hendak menjalani hidup berumah-tangga, seorang laki-laki mengambil istri dengan maksud utama ka napohu kalaja wingiru — kalaja bara (agar meramu sesaji kuning dan sesaji putih), maksudnya agar ada yang membuat nasi kuning dan nasi putih yang menjadi persembahan utama kepada marapu, karena tujuan utama dari perkawinan ialah supaya tetap ada yang melayani kepentingan marapu, yang dalam ungkapan dikatakan mata ka ningu mapadukulu epi la au — mapakalibuku wai la mbalu ( agar ada yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air ke tempayan). Suami istri yang masih muda adalah pengganti dan penerus tugas orang tua untuk melayani kepentingan marapu. Secara umum setiap orang wajib memuja marapu dengan memberi persembahan dan bersembahyang. Oleh karena itu dalam suatu biliku (keluarga batih), suami dan istri harus bekerja sama menyediakan bahan sajian untuk dipersembahkan kepada marapu.
Sebagai pemegang pimpinan utama dalam suatu biliku (keluarga batih), seorang ama (bapak, kepala keluarga) mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan yang menyangkut kehidupan keluarganya. Dalam bidang keagamaan ama inilah yang mengambil prakarsa untuk mengadakan bahan sesaji dengan mengerjakan sawah ladang, memelihara ternak atau melakukan pekerjaan lainnya. Sedangkan istrinya yang mengolah bahan itu. Bila ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam rumahnya, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, ama inilah yang memimpin dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara pemujaan. Hak dan kewajiban ama tidak terbatas dalam bilikunya saja. Sebagai warga uma dia pun harus turut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang dilakukan warga uma lainnya. Setelah dia menjadi boku (kakek) dari cucu-cucunya atau menjadi ama bokulu (bapak besar, sesepuh) dalam suatu uma maka hak dan kewajibannya akan bertambah pula. Segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh warga uma berada di bawah tanggung jawabnya. Di dalam uma ia diwakili oleh anak laki-lakinya yang tertua.
Seperti telah dikemukakan bahwa kelompok kekerabatan yang terbesar dalam masyarakat Umalulu ialah kabihu. Kabihu merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan uma-uma yang merasa diri berasal dan satu nenek moyang. Setiap kabihu rnempunyai benda-benda pusaka tertentu yang dianggap keramat dan yang berhubungan dengan asal mula dari kabihu itu. Benda-benda yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu. Para warga kabihu wajib melakukan serangkaian upacara yang berhubungan dengan tanggu marapu itu atau yang berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhurnya. Upacara-upacara biasanya dilakukan di rumah pusat (uma bokulu) dari kabihu yang bersangkutan, karena rumah bukan saja sebagai tempat tinggal manusia, tetapi yang paling utama adalah tempat melakukan kebaktian kepada marapu. Upacara terpenting yang dilakukan di uma ialah upacara Puru la wai dan upacara Nggutingu. Dalam upacara-upacara itu, anak-anak para warga kabihu yang telah mencapai usia tertentu diresmikan menjadi warga kabihu yang dewasa.
Setiap kabihu tidak pernah berdiri sendiri , dan selalu mempunyai hubungan dengan kabihu lain. Hubungan tersebut bisa terjadi karena diantara kabihu-kabihu itu mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada sangkut paut dengan sejarah leluhurnya. Dengan melalui musyawarah, mangu tanangu sebagai pemimpin dan penganjur menghimpun semua kabihu yang ada di dalam wilayah kekuasaannya dalam suatu perkampungan besar yang disebut paraingu. Dalam suatu paraingu setiap kabihu diwajibkan untuk turut ambil bagian dalam upacara pemujaan terhadap satu marapu ratu. Di Umalulu, Marapu ratu dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia yang disebut Uma Ndapataungu. Demikianlah, dapat dikatakan paraingu adalah tempat pemujaan, karena setiap upacara pemujaan yang penting harus dilakukan di paraingu, misalnya upacara Pamangu langu paraingu, Pamangu kawunga dan Pamangu lii ndiawa — lii pahuamba. Upacara-upacara tersebut dilakukan dengan maksud agar marapu ratu serta marapu lainnya memberi perlindungan, berkat, kesuburan dan kemakmuran. Pemujaan terhadap Uma Ndapataungu itulah yang menjadi pusat persekutuan kabihu-kabihu yang terdapat dalam paraingu . Adapun orang yang khusus melayani upacara pemujaan terhadap Uma Ndapataungu ialah para ratu dan paratu.

Perubahan Dewasa Ini
Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Umalulu diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan sampai dewasa ini agama asli mereka mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan mereka terutama di kalangan masyarakat desa. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Menurut Widijatmika (1980:11-12), dalam perkembangannya masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit. Namun pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Pekabaran atau penyebaran agama Kristen sudah sejak tahun 1881 dilancarkan, tapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba, namun itu pun tak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk beralih agama (Kapita,1976:80). Selain itu sekolah-sekolah dari pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota kecamatan Umalulu) berupa Volks school (Widijatmika,1980:33). Meskipun demikian ternyata usaha-uasaha tersebut belum mendapat hasil yang memuaskan.
Berdasarkan asumsi bahwa kehidupan di dunia selalu berubah. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang tidak berubah. Demikian pula tidak ada kebudayaan yang statis secara absolut. Dengan kata lain, perubahan itu konstan dalam kebudayaan manusia. Perbedaannya hanya ada perubahan kebudayaan yang cepat dan ada perubahan yang lambat, hal mana tergantung pada latar belakang stabilitas kebudayaan dan juga hubungannya dengan kemungkinan adanya penolakan akan perubahan. Menurut Geertz agama pun dapat mengalami perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan atau sistem-sistem keyakinan keagamaan, sedangkan teks suci atau doktrin agama itu sendiri tidak berubah (Robertson,1988:XII). Mengingat bahwa di dalam masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka di dalam sistem keyakinan yang dianut masyarakat Umalulu pun mungkin saja akan atau dapat berubah sejalan dengan proses dan berkembangnya perubahan sosial-budaya pada masyarakat yang bersangkutan. Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau bisa juga dengan jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka sebagai sesuatu hal yang ‘harus dilakukan’.
Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini rupanya sudah sering pula dilakukan pihak luar. Akan tetapi, sejauh itu pula tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti hingga tahun 1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu (Suriadiredja,1983:49). Namun perkembangan selanjutnya (terutama sejak tahun 1990-an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut tidak akurat dan mengungkapkan yang sebaliknya. Kini sebagian besar dari mereka (+/- 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam “KTP” saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Bila mereka memilih agama “KTP” mereka adalah Kristen dan bukan agama lain, alasannya karena agama Kristen tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah. Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka „terpaksa“ beralih agama untuk alasan tersebut, tapi rupanya mereka tak banyak punya pilihan. Mereka pasrah dibawah tekanan para penguasa.
Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, katakanlah sebagai jalan yang ‘kompromistis’, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah dan sebagainya. Menurut Suriadiredja sikap dan tindakan yang kompromistis itu merupakan proses inversi pada masyarakat yang pada kebudayaannya mempunyai prinsip-prinsip struktural berdasarkan pembagian dyadic-triadic (1983:405-409). Proses inversi ini dapat ditafsirkan sebagai pengolahan lingkungan-lingkungan yang berlawanan oleh kebudayaan pada suatu masyarakat yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang tajam. Melalui inversi akan tercakuplah lingkungan yang satu ke dalam lingkungan yang lain, dan ambivalensi alam tengah mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis.
Bagi masyarakat Umalulu, sejalan dengan pendapat O’dea (1985:216), agama merupakan salah satu bentuk “perlindungan budaya” melalui mana -- secara sadar atau tidak-- ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat diredakan. Di satu pihak mereka ingin tetap dengan agama dan ketradisionalan mereka sendiri, tapi dari sudut pandang lain mereka seperti mengikuti pendapat bahwa agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan yang sudah usang (Nottingham:1985:4). Masalahnya kemudian adalah apakah mereka akan ‘bersembunyi’ terus di balik kepentingan ‘target statistik’ ? Apakah yang berbau milik “pribumi” atau “asli lokal” harus selalu tersingkir dan musnah ? Mengapa harus merasa malu atau menjadi rendah diri memiliki tradisi yang luhur dari para leluhur sendiri ? Bukankah adanya kita semua sekarang ini berkat adanya para orang tua dan leluhur kita itu ?!

"Salam sejahtera bagi para Marapu".

Daftar Pustaka

Banton, Michael (ed)
Anthropological Approaches to the Study of Religion, Tavistok Publications, London, 1968.
Dove, Michael R. (ed)
Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Kapita, Umbu Hina
Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976.
Koentjaraningrat
Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974.
---------- Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta, 1977.
Nottingham, Elizabeth K.
Agama dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
O’dea, Thomas F.
Sosiologi Agama, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
Robertson, Roland (ed)
Agama:Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, CV Rajawali,Jakarta,1988
Suriadiredja, P.
Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983.
Widijatmika, Munandjar
Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur, LP Undana,Kupang,1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar