Rabu, 10 Juni 2009

MARAPU part 1


AGAMA ASLI ORANG UMALULU
di SUMBA TIMUR

Purwadi Soeriadiredja


Declaration of Human Rights Pasal 18 :
“ Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, kesadaran batin
dan agama; hak ini mencakup pula kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan, mengamalkan, beribadah dan melakukan upacara, baik sendiri maupun bersama-sama, secara terbuka atau tertutup”.



Pendahuluan

Makna istilah “agama” sering menimbulkan banyak kontroversi yang lebih besar daripada arti penting permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi” (Koentjaraningrat, 1974:137-142). Untuk menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam pembahasan ini akan digunakan istilah “agama” saja untuk menyebut suatu sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan tersebut penulis tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi terlepas dari kekeramatan dan kesucian yang terkait padanya secara dogmatis. Hendak melihat suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku.

Adapun Umalulu merupakan suatu wilayah yang lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda, Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo atau Kerajaan Melolo. Kemudian pada masa kemerdekaan disebut Daerah Swapraja Melolo, dan kini wilayah Umalulu menjadi kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur.


Sistem Religi dan Ilmu Gaib

Apa yang disebut sebagai agama “Sumba asli” itu ialah suatu religi yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba Timur arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Oleh karena itu, agama yang mereka anut disebut Marapu pula.
Seperti halnya dengan religi-religi lain dari berbagai suku-bangsa di dunia, maka religi di Umalulu juga mempunyai empat unsur pokok, yaitu :
1. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan.
2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup,maut dan sebagainya.
3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut di atas.
4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya (Koentjaraningrat, 1977: 228).

Emosi Keagamaan

Emosi keagamaan ialah suatu getaran jiwa yang pernah menghinggapi manusia pada masa hidupnya yang mendorongnya berlaku serba religi. Menurut Koentjaraningrat (1977:228-229) unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan dan aktivitas keagamaan adalah :
1. Kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia.
2. Takut akan krisis dalam hidup.
3. Yakin akan adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal.
4. Percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam.
5. Terikat oleh emosi kesatuan dalam masyarakat.
6. Percaya tentang adanya kekuasaan tertinggi.
Di Umalulu keenam unsur tersebut ternyata memegang peranan penting untuk mempertinggi emosi keagamaan dan aktivitas keagamaan para warganya. Unsur pertama berupa kesadaran tentang adanya makhluk-makhluk halus yang berasal dari jiwa para kerabatnya yang belum dibebaskan dari ikatan dunia dengan upacara Pataningu. Arwah-arwah yang belum diupacarakan itu dapat membawa bahaya bagi keluarganya dan juga masyarakat umum karena merasa tidak dihiraukan. Selain itu ada pula makhluk-makhluk halus yang tidak diketahui asal-usulnya dan bersifat jahat. Makhluk-makhluk halus itu oleh penduduk di sebut patau tana dan selalu harus diberi sesaji agar tidak mengganggu mereka.
Unsur kedua berupa ketakutan yang timbul akibat ketidakberdayaan ketika menghadapi krisis dalam kehidupan, antara lain ketika timbul wabah penyakit antrax yang melanda seluruh ternak hingga banyak yang mati karenanya.
Unsur ketiga berupa keyakinan tentang adanya banyak gejala yang tidak depat diterangkan dan dikuasal oleh akal mereka. Misalnya ketika terjadi gempa bumi pada tahun 1982 , atau pada tahun 1912 ketika terjadi kebakaran besar di Paraingu Umalulu yang diakibatkan oleh sambaran kilat sehingga hampir seluruh rumah terbakar.
Unsur keempat ialah kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi depat digunakan bila dikendalikan dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra tertentu, para tau mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta bantuannya untuk rnendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit.
Unsur kelima ialah keterikatan masyarakat Umalulu oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan (solidaritas).
Unsur keenam ialah kepercayaan tentang adanya kekuasaan tertinggi yang oleh masyarakat Umalulu disebut Na Mawulu Tau - Na Majii Tau (Pencipta Manusia).

Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan dalam suatu religi mengandung bayangan manusia tentang wujud dunia gaib, dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan mengenai hidup dan mati serta kesusastraan suci.
Orang Umalulu menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupan mereka, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib orang Umalulu menyandarkan diri serta menyembahnya.
Orang Umalulu mempunyai banyak dewa dan ada susunannya secara hirarki, tetapi tidak merupakan suatu pantheon tersendiri, karena setiap dewa mempunyai tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memujanya. Para dewa itu biasanya tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali bila sedang ada upacara tertentu. Dewa-dewa di Umalulu disebut Marapu, yaitu para arwah leluhur yang dimuliakan dan didewakan serta dipercaya sebagai lindi papakalangu - ketu papajualangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, perantara) antara manusia dengan Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membuat Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu inilah yang telah menerima nuku - hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu dibayangkan sebagai makhluk-makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan dan kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat-sifat yang lebih unggul. Mereka terdiri juga dari jenis pria dan wanita serta berpasangan sebagal suami istri. Diantara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal-bakal dari kabihu-kabihu. Marapu-marapu ini dibedakan antara Marapu Ratu dengan Marapu. Marapu ratu ialah marapu yang turun dari langit dan merupakan leluhur dari marapu lainnya. Sedangkan Marapu ialah arwah leluhur yang menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu tertentu.
Marapu-marapu di Umalulu dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan beberapa kriteria. Misalnya, marapu-marapu itu dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan hubungan dengan Marapu Ratu Umbu Endalu yang biasa disebut sebagai Uma Ndapataungu, yaitu dalam hubungan kekerabatan dan dalam hubungan pemerintahan.
Marapu-marapu yang termasuk kerabat Umbu Endalu ialah Rambu Pudu Kawau yang merupakan permaisurinya dan berputra dua orang, yaitu Umbu Kaluu Rihi dan Umbu Tunggu Watu. Istri Umbu Endalu yang kedua bernama Rambu Kahi Liaba yang biasa disebut Rambu Henda Mandari dan mempunyai seorang putri serta dua orang putra, yaitu Rambu Konga Wandalu, Umbu Mula dan Umbu Lu.
Marapu-marapu yang tergolong dalam pemerintahan Umbu Endalu antara lain : Umbu Kaluu Rihi, bertugas sebagai Ratu (imam, pendeta) yang mengurus hal keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ratu, Umbu Kaluu Rihi dibantu oleh beberapa ratu lainnya, yaitu Umbu Pandi Makahihiru yang bertugas sebagai paaungu (pemanggil) para ratu lainnya dalam segala urusan golongan ratu; Kunda - Mbala yang bertugas sebagai pesuruh di kalangan ratu; Umbu Hamata dan Umbu Harahapu yang bertugas sebagai pembawa barang-barang pusaka; Umbu Manggedingu dan Umbu Malara Nau yang bertugas sebagai utusan untuk menghadap Na Mawulu Tau-Na Majii Tau, sebagai wunangu (duta, perantara) dan sebagai pemelihara kebersihan tempat pemujaan. Adapun putra kedua dari Umbu Endalu, yaitu Umbu Tunggu Watu kemudian ditetapkan sebagai Maramba (raja) yang bertugas menjalankan pemerintahan dan rnemimpin dalam segala bidang kehidupan termasuk urusan keagamaan sebagai pengawas, pelindung, pendorong, dan mengadakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara pemujaan. Umbu Endalu kemudian oleh keturunannya dipuja sebagai Ina Ratu - Ama Konda , Na Pamalilingu Langu-Na Papalilinqu Hida (ibu bapak para ratu dan raja, yang dipantangkan kata dan yang tak terkalang aturan) dan dianggap sebagai dewa kesuburan serta kemakmuran. Dalam menjalankan tugasnya, Umbu Tunggu Watu dibantu oleh Umbu Dimu dan Umbu Rawa yang bertugas sebagai penolak mara bahaya yang datang dari arah udik dan bahaya penyakit ; Umbu Rumbu dan Umbu Kapala Rikatu sebagal panglima perang; Umbu Tundu Mbiru dan Umbu Kahi Laku sebagai pengawal; Titi-Nini sebagai penasihat; Umbu Diawa Lodu dan Umbu Diawa Mada sebagai penjaga matahari dan ahli bela diri; Umbu Panda dan Umbu Baka sebagai pemberi ampun dan berkat; Umbu Ropa dan Umbu Nyali sebagai pemegang kilat; Umbu Owa dan Umbu Kalaki sebagai ahil berburu; Umbu Watu Kambaru dan Umbu Rengga Mbulu sebagai penjaga laut; Umbu Meha Wulu dan Umbu Mandarimu sebagai ahli pertukangan; Umbu Lawahu dan Umbu Kambaru Hihu sebagai pengatur dalam hal perkawinan dan menentukan waktu pertukaran tahun; Umbu Katindi dan Umbu Luwa Ratu sebagal ahli pertanian.
Selanjutnya marapu-marapu di Umalulu dapat dibagi pula menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu dalam satu paraingu dan dalam suatu kabihu. Marapu golongan pertama ialah mereka yang termasuk kerabat Marapu Ratu Umbu Endalu, walaupun mereka itu tidak bersemayam dalam satu tempat pemujaan karena masing-masing marapu mempunyal tempat persemayaman sendiri. Marapu-marapu golongan kedua ialah mereka yang merupakan leluhur tiap-tiap kabihu dan bersemayam di uma bokulu dari masing-masing kabihu yang memujanya.
Setiap marapu di Umalulu mempunyal lambang suci yang disimpan di pangiangu marapu (kediaman marapu) masing-masing, yaitu di dalam menara uma bokulu setiap kabihu. Khusus untuk Umbu Endalu dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Lambang-lambang suci ini disebut tanggu marapu (bagian marapu) dan mempunyai macam-macam bentuk serta ukuran. Pada umumnya lambang-lambang suci itu berupa perhiasan-perhiasan mas atau perak, tetapi ada pula yang berupa patung dan guci. Sebagai lambang kebesaran dan kehadiran Umbu Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan bergaris tengah 12 mm . Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut mbalu rara-kihi muru (guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi, sedangkan guci hijau melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii hunggu-lii maraku (upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan delapan tahun sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang kemudian air itu ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di tempatnya. Air yang ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang hujan. Apabila air yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan dilimpahi banyak hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu tidak memenuhi guci merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci tersebut sudah tidak ada lagi.
Walaupun orang Umalulu mempunyal banyak dewa, yaitu para marapu yang sering disebut namanya, di puja dan dimohoni pertolongan, akan tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha Pencipta. Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta senantiasa dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan. Itupun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting lainnya yang menyangkut kehidupan orang banyak. Dalam kepercayaan Marapu , Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya, sehingga untuk menyebut namaNya pun dipantangkan. Adapun kata-kata atau kalimat-kalimat kiasan yang ditujukan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu antara lain :
Na Mapadikangu Tau (Pencipta Manusia), Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membentuk dan Membuat Manusia) ,Na Mawulu Tanga Mata Kalindi Uru-Na Mahangatu RI Wihi RI Lima (Yang Membentuk Alis Mata dan Batang Hidung. Yang Menyayat Tulang Kaki dan Tulang Tangan), Na Ndiawa Tumbu-Na Ndiawa Dedi (Dewa Yang Menumbuhkan dan Dewa Yang Menjadikan), Ina Nuku-Ama Hera (Ibu Hukum dan Bapak Cara), Na Mapadikangu Awangu Tana (Pencipta Langit dan Bumi),La Hupu Ina-La Hupu Ama (Ibu Segala Ibu dan Bapak Segala Bapak), Na Ina Mbulu-Ama Ndaba (Ibu dan Bapak Seisi Alam), Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (Ibu dan Bapak dari Seluruh Yang Ada), Na Pandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya), Mayapa Watu Wulu-Matema Loja Lala (Pemegang Batu Ciptaan dan Penadah Kuali Leburan), Ndiawa Mbulungu -Pahomba Mbulungu (Jiwa dan Roh Yang Esa),Ina Bai-Ama Bokulu (Ibu Agung dan Bapak Besar), Ina Makaluni-Ama Makaluni (Ibu dan Bapak Yang Kudus), Na Mabokulu Wua Matana- Na Mambalaru Kahiluna (Yang Besar Biji Matanya-Yang Lebar Telinganya, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya), Na Mailu Paniningu-Na Mangadu Katandakungu (Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia), Mapatandangu Manjipu-Na Mapatandangu Mandoku Mandanga (Yang Memperha tikan yang Salah dan Menimbang yang Keliru), Na Matimba Nda Haleli-Na Mandahi Nda Panjilungu (Hakim Yang Maha Adil), Na Kandapu Nda Ngihirungu-Na Karangga Nda Lelingu (Bukit Yang Tak Beranjak dan Ranting Yang Tak Bergerak,Yang Abadi).
Selain kepada para Marapu, orang Umalulu juga percaya bahwa di dunia gaib penuh dengan makhluk-makhluk halus, seperti patau tana, mamarungu, maranongu, katiku kamawa dan bumbu. Patau tana adalah roh-roh halus yang dapat berasal dari manusia,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka menjadi penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, gua-gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang-orang yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas dari hidupnya yang lama.
Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh-pesuruh para marapu. Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa lampau orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang lain. Roh halus yang sederajat dengan mamarungu ialah maranongu.Akan tetapi, maranongu mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia.
Katiku kamawa adalah makhluk halus lainnya yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari manusia dan tidak diketahui asa-usulnya. Penampilan katiku kamawa ini berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya berguling-guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar atau di pohon mangga.
Adapun bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung-gunung atau di tempat-tempat sunyi.
Orang Umalulu percaya bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala dan hal-hal luar biasa yang dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan suara-suara yang luar biasa. Gejala-gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka.
Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi dan na mapingu muru karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib, yaitu dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu. Ilmu gaib (puhi) yang dilakukan oleh para ratu atau oleh tau mapingu papuhi untuk mendatangkan hujan ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu.
Seorang tau mapingu papuhi ketika melakukan ilmu gaib yang bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di uta muru-kaba watu (hutan hijau dan tebing batu ), yaitu para marapu yang dipuja oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra-mantra (tundu wara) dengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit, mendapat kesialan atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain yang disebut kabeli mata (membalik mata), yaitu ilmu gaib semacam sihir yang dapat merubah manusia menjadi binatang, pohon atau batu.
Apabila ada seseorang yang ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya akan memberi muru (obat dari ramuan daun-daunan) atau tada ai (obat dri ramuan akar-akar pohon atau kulit kayu) yang telah diberi mantra-mantra tertentu kepada si sakit.
Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain (terutama laki-laki), maka dianggap akan membawa sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan kepada orang lain. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat-tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah.
Bagian tubuh manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal-pegal yang diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang tumbuh di batu-batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan kunyahan sirih pinang. Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya.
Binatang yang dianggap mempunyai kekuatan gaib antara Iain wangi (burung hantu), kuu (burung alap-alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Umalulu karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing).
Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara-upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan , dapat dilihat melalui hati babi.
Kerbau merupakan binatang yang biasa dikorbankan pada upacara-upacara keagamaan, terutama pada upacara perkawinan, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu merupakan bekal arwah orang yang meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai marapu digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa keberuntungan pada pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kekayaan.
Binatang yang melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan.
Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah ayam jantan. Bulu-bulu ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah orang yang meninggal agar bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka.
Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat melihat makhluk-makhluk halus.
Tumbuh-tumbuhan yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara lain kalala (kaktus), karangga langadi (akar bahar), pau (mangga) dan menggitu (lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka pun percaya bahwa semua daun-daunan yang mempunyal khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru (waru), kahi jawa (asam), muru mangandingu (sejenis sulur-suluran), yawilu (kayu manis), kunu buti (Lat: Hyptis suaveolens) dan rutu (Lat : Albizza marginata meer), juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan perryakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak mempunyai akibat buruk ialah wangga (beringin), mayela, kunjuru (teniring, Lat: Cassia fistula) dan kanawa (angsana).
Benda.-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan merupakan lambang suci para marapu ialah tanggu marapu. Benda-benda lain yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda-benda pusaka, seperti parang,kain-kain, perhiasan mas, perhiasan manik-manik (ana hida) dan hiwaru (jimat) yang dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat-saat tertentu saja oleh pemiliknya.
Suara-suara yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah mantra-mantra atau tundu wara yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara-suara nyanyian dan irama pukulan gong yang dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai kekuatan gaib juga, karena mampu menciptakan suasana yang diperlukan.
Menurut kepercayaan orang Umalulu, seseorang yang lahir ke dunia ini adalah atas kehendak Mawulu Tau-Majii Tau , demikian pula bila seseorang meninggal itu pun atas kehendakNya. Peristiwa kematian adalah suatu peristiwa perpindahan atau peralihan dari alam nyata (dunia) ke alam gaib (akhirat). Menurut pandangan mereka, kehidupan di alam gaib mempunyai struktur yang sama dengan kehidupan di alam nyata. Akan tetapi kehidupan di alam nyata tidak kekal, sedangkan kehidupan di alam gaib adalah kekal. Tubuh manusia hanyalah sebagai teda (kulit) atau haruma (selaput) yang dapat mati, sedangkan yang hidup kekal (njulu) ialah ndiawa (roh). Dalam kepercayaan Marapu roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh orang yang mati akan menjadi penghuni parai marapu dan dimuliakan sebagai marapu-marapu. Roh seseorang yang mati bisa mencapai parai marapu apabila dalam hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan diri kepada seorang wai maringu (air dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus dikebumikan dengan berbagal upacara. Apabila tidak demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana karena tidak diterima di parai marapu dan akan bergabung dengan makhluk-makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu kehidupan manusia.
Roh itu sendiri dalam diri manusia terdapat dua macam, yaitu yang disebut hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa (roh). Hamangu ialah roh manusia selama hldupnya yang menjadi inti kekuatan badannya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu ini akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia yang mati akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa terdapat dalam segala makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula.
Seperti juga bangsa-bangsa dan suku-bangsa lainnya di dunia, orang Umalulu mempunyai kesusastraan suci atau mite (myth) yang disebut lii ndai. Kesusastraan suci di Umalulu bersifat tak tertulis dan hidup dalam ingatan para ahli dan pemuka-pemuka agama. Setiap ada pesta-pesta adat dan upacara-upacara penting, misalnya pada upacara pamangu langu paraingu, muti uhu, kanduku wuaka, pamangu ndiawa, pamau papa, paremi wulu uma, pataningu, kesusastraan suci diceritakan kembali dengan diiringi nyanyian-nyanyian. Fungsi kesusastraan suci ini untuk menerangkan asal-usul penduduk Umalulu serta para marapu-marapunya. Kesusastraan suci dianggap bertuah dan dianggap dapat mendatangkan kemakmuran pada penduduk dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternaknya. Pada halaman selanjutnya akan disajikan sebuah cerita prosa rakyat (kareuku) secara singkat tentang para marapu turun dari langit.
Adapun langit, tempat asal segala marapu, terdiri dari delapan lapis yang disebut Awangu Walu Ndani dan berbentuk seperti hawita panggubulungu (kukusan tertelungkup). Pada lapisan yang pertama bersemayamlah La Hupu Ina – La Hupu Ama, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Di lapisan pertama yang bernama Hupu Makanjudingu – Hupu Makapatangu (ujung yang gelap gulita ) ini, diciptakanNya seorang pria dan seorang wanita. Kedua orang itu ditempatkan-Nya di suatu tempat yang bernama Kandau Ndai-Kabundu Tana Mulungu (hutan tua dan bukit binasa) yang merupakan lapisan kedua. Di tempat ini lahirlah Walu mini marimba-Walu kawini ratu (delapan laki-laki raja dan delapan wanita ratu) dan delapan pasang ata (hamba). Akan tetapi, karena di lapisan kedua itu terlalu sempit dan gelap, maka turunlah mereka bersama La Hupu Ina-La Hupu Ama ke lapisan ketiga yang bernama Tana Tanjuruku- Watu Pahinggangu (tanah yang longsor dan batu yang disangga).
Tanah di lapisan ketiga mudah longsor sehingga harus disangga dengan batu, lagi pula di lapisan ketiga itu masih terlalu gelap. Oleh karena itu mereka turun lagi ke lapisan keempat yang bernama Lia Kanjindingu-Lia Kapatangu (lubang yang gelap gulita). Di tempat ini masih gelap gulita karena berada di dalam lubang. Kemudian turunlah mereka ke lapisan kelima yang bernama Liangu Lira-Ngamba Watu (lubang sempit dan tebing batu). Tempat itu pun masih terlalu sempit dan bertebing, tetapi tebing ini terbuat dari emas. Dari lapisan kelima ini terlihatlah oleh mereka sinar terang yang tembus dari bawah. Kemudian tebing emas itu dipecahkan oleh Umbu Pambalu- Rambu Rubu. Setelah itu turunlah mereka ke lapisan keenam yang bernama Reti Wula-Kulu Mbaya, Reti Ananjara-Pindu Anatau (kubur bulan dan tempurung kuningan, kubur anak kuda dan pintu patung manusia).
Di lapisan keenam, Tara Hau-Lulu Weu menempa emas dari pecahan tebing di lapisan kelima untuk dijadikan dua buah matahari dan dua buah bulan. Setelah jadi, lalu bermusyawarahlah mereka untuk memutuskan hendak di manakah kedua matahari dan kedua bulan itu digantungkan. Kemudian diputuskan bahwa kedua matahari dan kedua bulan itu akan digantungkan di langit lapisan kelima oleh Tara Hau - Lulu Weu dengan mengendarai hanggeji ruu patola-hanggeji mata taki (pelangi). Ternyata dengan adanya dua buah matahari, hawa menjadi terlalu panas, maka yang sebuah diambil lagi, jadi yang tinggal hanya sebuah matahari saja. Beberapa lama kemudian, kedua buah bulan berselisih memperebutkan seorang wanita bernama Rambu Mbana yang berakhir dengan kematian salah satu bulan, sehingga kini hanya satu bulan saja yang ada.
Pada waktu berada di lapisan keenam tersebut, para marapu belum mengetahui adanya siang dan malam. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan burung rawa (punai) untuk menentukannya. Akan tetapi, burung rawa menentukan siang selama satu tahun dan malam selama satu tahun pula, sehingga para marapu tidak menyetujui karena terlalu lama. Kemudian mereka minta bantuan burung kuaka (murai). “Kuaka waihangu, kuaka waihangu !” (“Besok siang, besok siang !”), seru burung kuaka setiap pagi. Akhirnya penentuan oleh burung kuaka itu disetujui para marapu.
Di langit lapisan keenam itu pun para marapu tidak tinggal lama. Mereka turun lagi ke lapisan ketujuh yang bernama Tana Mumu – Watu Nggela (tanah berguncang dan batu bergoyang). Akan tetapi kini La Hupu Ina – La Hupu Ama tidak ikut turun, tetap tinggal di lapisan keenam dan ditemani oleh ahu walu ngiu – tawongu walu tiu (anjing delapan ekor dan lebah delapan sarang). Ternyata keadaan di lapisan ketujuh itu pun tidak aman, sehingga para marapu memutuskan untuk turun lagi ke lapisan kedelapan, kecuali Tara Hau – Lulu Weu yang tetap tinggal di lapisan ketujuh.

Di lapisan kedelapan, para marapu tinggal lama dan mereka belajar segala pengetahuan serta nuku – hara yang sampai kini diikuti oleh keturunannya di bumi. Langit pada lapisan kedelapan ini bernama Taluara Mbidahu - Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Njati ( halaman rata dan balai bercahaya di bawah naungan pohon jeruk dan pohon jati). Akan tetapi, pada lapisan kedelapan ini para marapu masih merasa tidak aman, karena itu mereka menyuruh Mbongu-Mbaku (kabut dan elang) terbang untuk mencari tempat yang lebih baik bagi kediaman mereka. Pada suatu saat dalam penerbangannya, Mbongu - Mbaku mendapatkan bahwa di bawah lapisan kedelapan ada suatu dataran yang sangat luas. Namun setelah diselidiki ternyata yang terlihat seperti dataran itu hanyalah air semata. Kemudian kembalilah mereka untuk mengabarkan hal tersebut kepada para marapu. Setelah mendengar penjelasan itu, para marapu mengutus Mbongu - Mbaku untuk menghadap La Hupu Ina-La Hupu Ama di lapisan keenam. Di lapisan keenam, Mbongu-Mbaku menceritakan maksud mereka kepada La Hupu Ina – La Hupu Ama yang kemudian memberi mereka berjenis-jenis tanah dan batu agar dihamburkan ke seluruh permukaan air. Sekembalinya dan lapisan keenam dan menyampaikan segala pesan La Hupu Ina- La Hupu Ama tersebut kepada para marapu, kemudian Mbongu-Mbaku menghamburkan tanah dan batu itu ke seluruh permukaan air sehingga terjadilah pulau-pulau besar dan kecil. Sesudah segala pulau besar dan kecil itu ada, maka bermufakatlah para marapu untuk turun ke bumi dengan panongu bahi- panongu atu (tangga besi dan teras kayu). Mereka turun di Malaka-Tana Bara, kemudian mereka berlayar dengan menggunakan karaba rongu-karaba rita (sampan randu dan puli) melalui Hapa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa - Ndua Njawa, Ruhuku Mbali, Ndima- Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba-Rai Njua dan akhirnya tiba di Haharu Malai- Kataka Lindiwatu (Tana Humba, Pulau Sumba).

(to be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar