Tampilkan postingan dengan label Sexuality. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sexuality. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Desember 2008

Seksualitas dan Ritual di Kemukus




Seksualitas dan Ritual di Kemukus


Di dalam kehidupan manusia daya-daya kekuatan alam seperti berhubungan seks diberi bentuk yang bersifat kultural, sehingga dorongan-dorongan alamiah dalam bentuk perilaku seksual itu bukan sekedar pemenuhan kebutuhan biologis saja, melainkan diberi makna tertentu dan menjadi lebih ekspresif serta mempunyai nilai simbolik. Melalui mitos-mitos, daya-daya kekuatan alam dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya dikaitkan dengan daya-daya supra-natural beserta ritus keagamaannya sehingga seksualitas menjadi bagian dari proses ritual itu sendiri.
Masyarakat di Gunung Kemukus, Jawa Tengah selalu menjalankan ritual yang berdasarkan suatu mitos yang berhubungan dengan seksualitas, yaitu upacara Ngalab Berkah yang diyakini akan memberi keberuntungan atau jaminan rasa aman bagi kehidupan mereka dan juga peziarah lainnya walaupun membawa pula dampak lainnya, yaitu pelacuran.


Setiap manusia dewasa yang ‘normal’, tentunya pernah atau setidaknya ingin mengadakan hubungan seks dengan lawan jenisnya. Hal tersebut menurut Malinowski (1944) disebabkan manusia sebagai makhluk hidup dilahirkan dengan membawa basic drives (dorongan-dorongan dasar), salah satunya adalah dorongan dasar untuk melanjutkan keturunan. Dorongan dasar ini kemudian menimbulkan basic needs (kebutuhan-kebutuhan dasar) yang masing-masing ada respons kebudayaannya. Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan manusia, daya-daya kekuatan alam seperti berhubungan seks itu diberi bentuk yang bersifat kultural, sehingga dorongan-dorongan alamiah dalam bentuk perilaku seksual itu bukan hanya pemenuhan kebutuhan biologis saja, melainkan ‘dikemas’ kembali, diberi makna tertentu dan menjadi lebih ekspresif serta mempunyai nilai simbolik. Perilaku seksual diatur secara sosial dengan seperangkat nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Melalui mitos-mitos, daya-daya kekuatan alam (kesuburan) dan nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan daya-daya supra-natural beserta ritus keagamaannya sehingga seksualitas menjadi bagian dari proses ritual itu sendiri. Rituals reveal values at their deepest level, begitu kata Turner (1974:6).


Suatu mitos, seperti yang dikemukakan oleh van Peursen (1976:37-41), memberikan arah kepada kelakuan manusia, dan melalui mitos itu pula manusia dapat berpartisipasi serta menanggapi kekuatan-kekuatan alam. Mitos membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam serta kehidupan manusia. Selain itu mitos memberi jaminan atau rasa aman bagi masa kini, dalam arti bahwa simbol-simbol mitologis membuka kesempatan guna menyambung nyawa dan menjamin kesuburan, dan rasa aman itulah yang mungkin dicari oleh para peziarah yang datang untuk mengikuti ritual di Gunung Kemukus. Gunung Kemukus itu sendiri merupakan sebuah bukit yang terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pada puncak bukit itulah yang menjadi pusat ritual di Gunung Kemukus, yaitu di sekitar makam Pangeran Samodro yang di selilingnya banyak ditumbuhi pepohonan besar dan banyak pula dibangun rumah-rumah penduduk serta warung-warung yang siap menerima setiap pengunjung yang datang ke tempat itu.



Seksualitas dan Ritual

Seseorang atau suatu makhluk hidup dilahirkan atau tumbuh dan berkembang dengan jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis kelamin ini berhubungan dengan keadaan biologis dan anatomis yang mempunyai karakter saling berbeda satu sama lain, yaitu jenis kelamin jantan (male) dan jenis kelamin betina (female). Sedangkan seksualitas mencakup seluruh kompleks sifat emosi, perasaan, kepribadian dan watak sosial yang berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual (Sumiarni,1999:11). Dalam arti sempit, kegiatan seksual menyangkut pada hubungan persetubuhan dan reproduksi dari jenis kelamin yang berbeda.

Pada umumnya hubungan seksual sering diasosiasikan dengan pemuasan dorongan biologis yang mendatangkan rasa nikmat dan kesenangan. Di lain pihak, seksualitas dihubungkan pula dengan daya hidup, yaitu pentransformasian energi dalam suatu kegiatan seksual-genital. Selain itu seksualitas sering pula dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang diberi bentuk ‘kultural’ dengan seperangkat nilai-nilai yang melatarbelakanginya dalam suatu interaksi sosial, sehingga hubungan seksualitas dapat merefleksikan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Walaupun demikian, konsepsi seksualitas dalam suatu masyarakat mungkin tidak akan sama dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut menurut Weeks (1981) dibentuk oleh sistem kekeluargaan, perubahan sosial dan ekonomi, perubahan aturan-aturan sosial, politik, dan gerakan perlawanan. Singkatnya, setiap masyarakat dengan nilai-nilai budayanya, masing-masing mempunyai konsepsi dan konfigurasinya sendiri tentang seksualitas.

Sejarah kehidupan manusia telah menunjukkan bahwa seksualitas bukan hanya sekedar pemenuhan kepuasan biologis saja, tapi merupakan hasil bentukan suatu budaya tertentu dalam kehidupan sosial manusia yang akan mempengaruhi pula alam pemikirannya. Van Peursen (1976:175) mengemukakan bahwa dalam alam pemikiran mitologis dorongan seksual merupakan suatu peristiwa kosmis yang biasa saja, dalam alam pemikiran ontologis segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas harus ditutupi, sedangkan dalam alam pemikiran fungsional seksualitas dianggap sebagai suatu hal yang bebas, dalam arti lebih terbuka dan ada kalanya artistik, malah menjadi bahan konsumsi.



(Seksualitas dalam budaya Mesir Kuno dipandang sebagai peristiwa kosmis, sumber : van Peursen,1976:175)



Di Indonesia, khususnya di Jawa, banyak peninggalan kebudayaan Hindu mengungkapkan pemujaan pada simbol-simbol seksual seperti lingga dan yoni yang merupakan simbol kesuburan. Menurut konsepsi tradisional Jawa, seksualitas merupakan bagian dari keperkasaan dan kekuasaan, sehingga ada anggapan bahwa hubungan seksual dan alat kelamin merupakan simbol pusaka yang dikeramatkan. Misalnya dalam kisah-kisah kuno banyak diceritakan hubungan seksual antara raja atau calon raja dengan seorang perempuan yang terjadi tanpa formalitas namun tidak ada yang berkeberatan terhadap hal itu. Di Kraton Solo dan Candi Sukuh, ada pahatan alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan yang keduanya dianggap sebagai pusaka dan mempunyai kekuatan magis. Demikian pula seorang raja yang memiliki potensi seksual yang besar, maka dipercaya kerajaannya akan menjadi makmur. Makin banyak anak keturunan raja itu, semakin makmur pula rakyatnya. Walaupun kebenarannya perlu disangsikan, namun anggapan tersebut nampaknya masih berlangsung.



Lingga-Yoni


Dalam banyak kepercayaan dan ajaran kebatinan, peristiwa bersatunya daya hidup yang bersifat jantan dan betina atau kegiatan seksual ini merupakan sesuatu yang sakral, karenanya tidak boleh dilakukan sembarangan. Perbuatan ritual wajib dilakukan baik sebelum, sedang, maupun setelah melakukan kegiatan itu karena kegiatan seksual merupakan tugas suci dari Yang Maha Kuasa untuk melanjutkan keturunan. Tujuan utamanya agar mendapat kebahagiaan dan keturunan yang sesuai dengan kehendak lingkungan sosial-religiusnya, sehingga berbagai nilai, norma dan aturan yang berlaku dalam budayanya akan melatarbelakangi kegiatan tersebut.



Gunung Merapi



Tugu Yogya

(Tugu yang terletak di perempatan Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. Pangeran Mangkubumi mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis lurus yang bersifat magis yang menghubungkan laut selatan, kraton Yogya dan gunung Merapi).



Penyimpangan-penyimpangan dapat saja terjadi, disadari atau tidak disadari oleh para pelakunya. Misalnya penyimpangan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi, atau penyimpangan yang terjadi karena kepercayaan yang berlebihan pada suatu mitos sehingga tanpa disadari justru menyimpang dari pesan-pesan yang terkandung dalam mitos itu sendiri. Mitos-mitos yang cenderung berakibat adanya penyimpangan seksual ini antara lain mitos raja sebagai keturunan dewa, pengorbanan perawan dengan upacara tertentu, atau melaksanakan ritual dengan melakukan persetubuhan bebas dengan siapa saja secara massal dan sebagainya yang dipercayai bahwa pelakunya akan mendapat keberhasilan dalam hidupnya.


Penyimpangan-penyimpangan tersebut sebenarnya sah-sah saja terjadi selama nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan mendukungnya sehingga tidak terjadi suatu konflik. Pada masyarakat Jawa, suatu prinsip untuk menghindari konflik ini disebut rukun, yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang harmonis, tanpa pertengkaran, dan saling tolong menolong satu sama lain. Perbuatan rukun merupakan suatu usaha untuk mengurangi simbol-simbol ketegangan pribadi dan masyarakat dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan hubungan antar manusia (Sumiarni,1999:23;Suseno,1981). Prinsip ini berdasarkan pula pada gambaran keadaan kosmos yang teratur. Pemeliharaan akan keteraturan itu merupakan tujuan dari praksis sosio-religius pada sistem kepercayaan masyarakat Jawa (Mulder,1983). Berkaitan dengan masalah hubungan seksual, menurut Sumiarni (1999:24) mayarakat Jawa tidak terlalu tertarik pada prinsip moral absolut. Suatu hal yang terpenting adalah menjaga keharmonisan dan menghindari konflik.


Salah satu usaha untuk menjaga keharmonisan dan menjadi pusat dari aktivitas kehidupan religius Jawa ialah slametan. Slametan merupakan ritual yang bertujuan menciptakan keadaan selamat, dalam arti bebas dari hal-hal yang dianggap negatif, keadaan aman, dan kerukunan dengan segenap isi kosmos. Acara slametan dapat dilakukan pada setiap peristiwa yang dianggap penting atau mempunyai siklus tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, bepergian jauh, ucapan terima kasih kepada Tuhan atau para leluhur, meminta berkah dan sebagainya yang intinya memperoleh ‘rasa aman’, baik lahir maupun batin.

Berkaitan dengan slametan, dalam masyarakat Jawa dikenal pula kebiasaan mengunjungi kuburan leluhur mereka yang biasa disebut nyekar. Nyekar berarti membawa atau mempersembahkan bunga yang ditujukan untuk menghormati para arwah leluhur dan memohon agar keinginannya dengan nyekar itu dapat tercapai. Selain di kuburan leluhur, nyekar ada kalanya pula dilakukan di kuburan-kuburan yang dianggap keramat atau pesarean, di mana orang yang dianggap mempunyai kekuatan gaib atau kesaktian dan dikeramatkan dikubur di dalamnya. Tujuannya adalah selain menghormati arwah orang yang dianggap keramat itu, juga dimintai pertolongan agar keinginannya disampaikan kepada Yang Maha Esa. Jadi dalam hal ini si arwah orang keramat itu berperan sebagai perantara. Selain itu dengan mendekati sumber kekuatan, dipercaya bahwa peziarah akan memperoleh ‘kekuatan’ itu pula yang dapat digunakannya tergantung kebutuhan. Bisa dikatakan sebagai sesuatu yang bisa menambah percaya diri dalam menghadapi suatu masalah, dan tentunya juga akan menambah ‘rasa aman’ bahwa keinginannya dapat tercapai.


Mitos Pangeran Samodro

Kegiatan seksual di Gunung Kemukus selalu berkaitan dengan kepercayaan yang berhubungan dengan mitos Pangeran Samodro yang ada dalam masyarakat sekitar gunung tersebut. Ada beberapa versi tentang mitos Pangeran Samodro ini yang masing-masing mempunyai kepentingan sebagai alasan pembenar dalam mencapai tujuan, yaitu versi pemerintah daerah setempat, versi peziarah dan versi penduduk setempat. Berdasarkan pertimbangan bahwa versi pemerintah daerah setempat ‘sering dimuati unsur politis’, maka hanya akan dikemukakan secara ringkas versi peziarah dan versi penduduk setempat saja.

Mitos versi peziarah

Ketika kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478, berdirilah kerajaan Demak dengan seorang raja bernama Raden Patah. Raden Patah mempunyai putra bernama Pangeran Samodro yang berperilaku tidak terhormat karena dia jatuh cinta kepada ibunya, yaitu R.A. Ontrowulan. Ternyata cintanya itu diterima oleh ibunya. Ketika Raden Patah mengetahui hubungan mereka, Pangeran Samodro dicari dan diburu sampai di Gunung Kemukus.

Sementara itu, R.A. Ontrowulan menjadi gila kepada anaknya sendiri, karenanya ia meninggalkan Demak untuk mencari anaknya itu. Kemudian terjadilah suatu pertemuan yang menyedihkan, dan mereka melakukan hubungan badan yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang ibu dengan anaknya. Selanjutnya datanglah utusan Raden Patah yang hendak membunuh Pangeran Samodro. Lalu dibunuhnyalah Pangeran Samodro itu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Pangeran Samodro berucap : “Bagi siapa saja yang mempunyai keinginan atau cita-cita, untuk mendapatkannya harus dengan sungguh-sungguh, mantap, teguh pendirian, dan dengan hati yang suci. Jangan tergoda apa pun, harus terpusat pada yang dituju atau yang diinginkan. Dekatkan dengan apa yang menjadi kesenangannya, seperti akan mengunjungi yang diidamkan (dhemenane)”.

Mitos versi penduduk asli

Pangeran Samodro adalah putra tertua istri resmi Prabu Brawijoyo dari kerajaan Majapahit. Ketika menginjak dewasa, untuk mengumpulkan pengalaman yang akan berguna di kemudian hari, ia dilepas ke dunia luar. Beberapa tahun kemudian, Pangeran Samodro kembali ke istana dan ia jatuh cinta kepada salah seorang selir ayahnya yang bernama R.A. Ontrowulan. Cintanya itu diterima. Ketika Prabu Brawijoyo mengetahuinya, beliau sangat marah dan mengusir mereka berdua. Kemudian menetaplah mereka di Gunung Kemukus sebagai suami-istri dengan bahagia.

Sebelum menetap di Gunung Kemukus, mereka mengembara ke daerah yang kini menjadi Kecamatan Sumber Lawang. Suatu tempat perhentian yang sangat disenangi oleh R.A. Ontrowulan adalah sebuah sumber air di kaki gunung yang saat ini dikenal sebagai Sendang Ontrowulan. Di sendang itu pula ia sering duduk dekat pohon jati dan bermeditasi sepanjang hari. Konon, sendang itu dibuatnya dengan menancapkan sebatang tongkat ke dalam tanah. Dan pohon-pohon besar yang menjadi hutan lebat di sekelingnya berasal dari bunga-bunga pengikat rambut yang jatuh ketika R.A. Ontrowulan menggoyangkan rambutnya yang panjang.

Pada suatu waktu, ketika R.A. Ontrowulan pergi bermeditasi di sebuah tempat yang jauh dan untuk waktu yang lama, Pangeran Samodro jatuh sakit dan meninggal dunia. Oleh penduduk desa Blorong, jenazahnya dimandikan di Sendang dan dimakamkan. R.A. Ontrowulan tidak mengetahui kejadian itu. Ketika kembali, ia mandi di Sendang dan langsung pergi ke puncak Gunung Kemukus untuk bertemu dengan suami tercinta. Namun yang dijumpainya adalah orang-orang desa yang baru saja menguburkan suaminya. Sangat sedihlah ia, dan ia pun meninggal di tempat itu. Kemudian walaupun sudah larut malam dibuatnyalah makam untuknya.

Pada suatu hari, beberapa tahun setelah meninggalnya Pangeran Samodro dan R.A. Ontrowulan, Pangeran Samodro menampakkan diri dalam penglihatan orang tertua di desa. Pangeran Samodro berpesan pada orang tua itu bahwa ia akan memenuhi keinginan setiap orang yang datang ke makamnya dengan membawa bunga, dengan syarat bahwa orang yang datang itu harus memberi kesan telah mempunyai pasangan.

Demikianlah mitos Pangeran Samodro dari dua versi yang berbeda, yang rupanya ditafsirkan secara berbeda pula. Menurut keyakinan para peziarah, Pangeran Samodro adalah orang yang sering bertapa dan mempunyai kekuatan sangat besar. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, Pangeran Samodro menginginkan agar para peziarah datang sebanyak tujuh kali dalam waktu peziarahan dan melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan resmi. Jumlah tujuh kali didasarkan pada pengalaman bahwa jumlah tersebut membawa hasil atau rejeki tersendiri. Sedangkan hubungan seks dengan ‘orang yang bukan pasangan resmi’ adalah penafsiran dari kata dhemenane yang ditafsirkan oleh peziarah sebagai kata dhemenan yang berarti ‘pacar gelap’, yaitu laki-laki atau perempuan lain yang bukan suami atau istri (Sumiarni,1999:36).

Adapun dalam penafsiran versi penduduk setempat, walaupun ada persamaan namun sangat berbeda dalam bagian akhir dari cerita mitos tersebut. Pangeran Samodro memang memberi syarat harus adanya pasangan, tetapi tidak mensyaratkan adanya hubungan seks. Hal tersebut dianggap tidak begitu penting dan dapat dilakukan dengan aman di rumah saja. Penduduk setempat yang datang berziarah umumnya membawa pasangan resminya sendiri. Jadi bagi yang berminat mengikuti ritual di Gunung Kemukus tinggal pilih saja, mau mengikuti versi yang mana.





Ritual di Gunung Kemukus

Tujuan orang datang ke Gunung Kemukus umumnya hendak berziarah ke makam Pangeran Samodro untuk mengikuti ritual ngalab berkah. Bisa dikatakan daya pikat ‘utama’ ritual di Gunung Kemukus ialah kegiatan ritual yang sering dikaitkan dengan adanya hubungan ‘seks bebas’ yang dilakukan sebagian pengunjung di sekitar makam Pangeran Samodro. Hubungan seks tersebut dipercaya sebagai suatu keharusan jika niat mereka ingin terkabul. Kepercayaan itu sendiri didasari oleh adanya mitos yang hidup di dalam masyarakat sekitar Gunung Kemukus tentang tuah dari kekeramatan makam Pangeran Somodro. Hubungan seksual itu rupanya berkaitan erat dengan sikap masyarakat setempat yang tidak begitu peduli terhadap hal tersebut. Jadi ya oke-oke saja. Pada setiap hari Kamis Pahing (malam Jum’at Pon), suasana di sekitar makam Pangeran Samodro sangat ramai didatangi pengunjung dari berbagai jenis kelamin, kalangan, profesi, tua, muda, dengan latar belakang status sosial dan budaya serta tempat tinggal. Mereka bercampur-baur sehingga sulit pula sebenarnya bila hendak membedakan pengunjung mana yang benar-benar akan berziarah dengan pengunjung yang mempunyai ‘maksud lain’. Berdasarkan penelitian Sumiarni dkk.(1999), motivasi para peziarah datang ke Gunung Kemukus dapat diklasifikasikan bermotivasi ekonomi, kedudukan, mencari jodoh, ketenangan batin, pengobatan dan ingin lulus ujian. Dari berbagai motivasi tersebut, motivasi ekonomi selalu menjadi alasan utama, terutama bagi para pedagang yang umumnya tidak hanya sekali datang berziarah ke tempat itu.

Para pengunjung yang hendak bermalam, untuk melepaskan lelah atau hendak ‘berasyik-masyuk’, dapat menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar makam. Penduduk setempat menyediakan beberapa kamar sederhana di rumahnya dengan tarif relatif murah. Demikian pula bila hendak makan dan minum, para pengunjung dapat membelinya di warung-warung yang banyak dijumpai di sekitar makam tersebut. Bagi para pengunjung yang datang sendirian atau tidak berpasangan, mereka dapat mencari ‘teman tidur’ yang banyak menanti dengan ‘penuh hasrat’ atau menawarkan dirinya untuk menemani.

Adapun pusat ritualnya sendiri adalah di sekitar makam Pangeran Samodro yang terletak dalam suatu bangunan di puncak bukit Gunung Kemukus. Secara keseluruhan, makam Pangeran Samodro terbagi dalam lima bagian yang mempunyai nilai kesakralan tersendiri, yaitu bagian teras luar, bagian dalam, bagian dalam berteras, bagian ruangan berdinding kayu, dan bagian dalam yang terdapat makam Pangeran Samodro yang sekelilingnya ditutupi atau disekat kelambu. Di sebelah utara ruangan makam tersebut terdapat pula bangunan yang digunakan untuk tempat beristirahat para peziarah.

Di kaki bukit sebelah timur makam, terdapat sendang Ontrowulan yang merupakan sumber air yang dipakai para peziarah untuk membersihkan diri. Sendang ini merupakan tempat kesayangan R.A. Ontrowulan dan dianggap keramat pula sehingga menjadi salah satu syarat penting untuk memperoleh berkah. Oleh penduduk setempat sendang ini digunakan pula untuk keperluan sehari-hari karena selalu berair sekalipun pada musim kemarau. Hal itu dianggap penduduk dan peziarah sebagai kesaktian dari R.A. Ontrowulan yang dipercaya bahwa arwahnya tetap berada di sendang tersebut.


Ritual Ngalab Berkah


Ritual ngalab berkah adalah serangkaian upacara yang harus dilakukan para peziarah beserta pasangannya masing-masing. Hal itu dilakukan dengan harapan agar keinginan mereka dikabulkan. Selain itu mereka harus membawa pula persyaratan lain untuk melengkapinya. Adapun syarat dan urutan ritual ngalab berkah itu sebagai berikut :

Pertama, para peziarah harus membawa bunga untuk nyekar yang terdiri dari bunga mawar merah, mawar putih dan bunga kantil, serta kemenyan. Semua syarat itu bisa dibawa dari luar (rumah), atau dibeli di sekitar Gunung Kemukus.

Kedua, sebelum mengunjungi makam, para peziarah harus membersihkan diri dahulu di Sendang Ontrowulan, dan mengambil air sendang. Air sendang dipercaya mempunyai khasiat untuk mensucikan jiwa dan raga.

Ketiga, pergi ke makam dan menghadap juru kunci. Kemudian segala persyaratan yang dibawa diserahkan kepada juru kunci beserta sejumlah uang yang besarnya tergantung kerelaan peziarah. Selanjutnya juru kunci memberkati segala persyaratan dengan berdoa, dan mempersilahkan peziarah masuk ke ruang makam. Perlu dicatat bahwa sebelum masuk ke makam melalui juru kunci, para peziarah harus menanggalkan alas kaki mereka dan menitipkannya di tempat penitipan yang sudah disediakan.

Keempat, peziarah masuk ke ruang makam dengan membawa bunga yang diberkati, lalu berniat dan berdoa dengan cara masing-masing di samping makam Pangeran Samodro. Sesudah itu melakukan nyekar dengan menaburkan bunga di atas nisan, dan meninggalkan makam dengan segera untuk memberi kesempatan pada peziarah lainnya. Air dan sisa bunga yang digunakan untuk nyekar biasanya dibawa pulang karena dipercaya mempunyai kekuatan magis.


Pelengkap Ritual Ngalab Berkah

Walaupun bukan menjadi syarat utama, ada beberapa hal yang dilakukan para peziarah untuk melengkapi ritual Ngalab Berkah itu, antara lain tirakatan, berhubungan seks, slametan, dan memenuhi kaul.
Setelah nyekar di makam Pangeran Samodro, para peziarah dapat mengadakan tirakatan di pendopo yang terletak dekat ruangan makam. Bila pendopo sudah penuh, peziarah dapat pula bertirakat di halaman sekitar pendopo itu dengan menggelar tikar. Menurut juru kunci, tirakatan yang baik dilakukan pada malam hari, yaitu pada malam Jum’at Pon atau malam Jum’at Kliwon.

Tidak seperti orang Indonesia lainnya yang umumnya bersikap munafik terhadap hubungan seks, penduduk setempat di Gunung Kemukus bersikap permisif terhadap hal yang satu ini. Tidak adanya larangan khusus dan gangguan terhadap para peziarah yang mengadakan hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan resminya membuktikan hal itu. Terlebih lagi didukung oleh para petugas keamanan yang melindungi para peziarah agar jangan diganggu ketenteramannya.

Hubungan ‘seks bebas’ yang banyak dilakukan oleh para peziarah berkaitan dengan kepercayaan bahwa apabila hubungan seks itu dilakukan di tempat terbuka, maka niatnya untuk mengikuti ritual ngalab berkah akan cepat terkabul. Menurut penduduk setempat, hubungan seks ini menjadi suatu keharusan, walaupun menurut juru kunci hal itu tidak juga disarankan, tetapi tergantung pada keyakinan dan kemauan dari masing-masing peziarah. Umumnya para peziarah yang dijumpai datang ke Gunung Kemukus mengemukakan bahwa hubungan seks yang dilakukan secara terbuka di dekat makam Pangeran Samodro akan mempercepat perolehan berkah. Akan tetapi, kini hal itu agak sulit dilakukan karena banyaknya bangunan didirikan di sekitar tempat itu dan makin banyaknya pengunjung dari waktu ke waktu. Karenanya hubungan seksual kini banyak dilakukan di penginapan atau rumah-rumah penduduk yang menyewakan kamar-kamarnya.

Para peziarah berpendapat bahwa hubungan seks itu harus dilakukan sebanyak tujuh kali berturut-turut secara terus menerus tanpa terputus dengan pasangan tetap yang bukan pasangan resminya. Apabila tidak demikian halnya maka ritual ngalab berkah harus dimulai lagi dengan pasangan yang baru, demikian seterusnya sampai keinginannya terkabul. Sering berganti pasangan dan memulainya dengan yang baru akan menghambat atau mengurangi perolehan berkah.

Pasangan peziarah yang melakukan hubungan seks di tempat terbuka, biasanya mereka melakukannya di balik pohon-pohon besar, di pinggir Waduk Kedung Ombo di balik kegelapan malam. Mereka membawa atau menyewa tikar sebagai alas, menggunakan sarung sebagai selimut penahan dingin sekaligus menutupi tubuh mereka ketika berhubungan seks. Uniknya mereka tetap mengenakan pakaian bagian atas. Mungkin untuk menimbulkan kesan bahwa mereka hanya duduk-duduk mengobrol saja.

Pelengkap ritual lainnya adalah slametan yang dilakukan di tempat terbuka atau teras bagian depan makam. Para peziarah yang hendak mengadakan slametan, sebelumnya harus memberitahukan terlebih dahulu niatnya itu kepada juru kunci. Kemudian juru kunci akan menentukan kapan slametan itu dapat dilaksanakan. Kepada setiap peziarah yang berniat mengikuti acara itu diminta biaya yang besarnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pada saatnya tiba, mereka duduk bersila mengelilingi hidangan, berdoa bersama yang dipimpin juru kunci beserta pembantunya, dan acara ditutup dengan nyekar ke makam Pangeran Samodro. Adapun alasan mengadakan slametan ini, walaupun bukan yang utama, ialah sebagai syarat memperoleh berkah. Selain itu sebagai pernyataan terima kasih atas terkabulnya suatu permohonan.

Ada kalanya bagi peziarah yang telah dikabulkan permohonannya mengungkapkan rasa terima kasihnya itu dengan memenuhi kaul mengadakan pertunjukan wayang kulit. Seperti halnya slametan, pertunjukan wayang kulit dilakukan untuk melengkapi ritual peziarahan agar lebih sempurna. Akan tetapi, agak disayangkan pertunjukan ini dilakukan hanya sekedar formalitas saja untuk memperoleh berkah, dan tidak berhubungan dengan makna sosial-religius dari pertunjukan wayang itu sendiri. “Emangnya gua pikirin !”, mungkin begitu kira-kira yang terlintas dalam benak peziarah yang berhasil. Bagi mereka yang terpenting adalah permohonan mereka telah terkabul dan segala syaratnya pun telah dipenuhi. Jadi mau apa lagi ? Untuk sementara jaminan ‘rasa aman’ sudah dalam genggaman. Bukankah hal itu yang dicari ? Bila ada masalah lain yang tidak terpecahkan, ya datang saja lagi ke Gunung Kemukus untuk memohon berkah.



Tugu Monas, lingga-yoni versi modern



Kesejahteraan bagi penduduk setempat

Bila dilihat dari sumber daya alam, wilayah di sekitar Gunung Kemukus bisa dikatakan hampir tidak menghasilkan apa-apa. Hasil pertanian dari daerah tersebut hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari saja, itu pun tidak mencukupi. Suatu hal yang pasti adalah dengan banyaknya peziarah atau pelancong yang datang ke Gunung Kemukus bagi penduduk setempat menunjang kehidupan dan menambah penghasilan mereka. Pada hari-hari peziarahan, daerah itu digunakan penduduk setempat sebagai pasar, tempat di mana orang dapat berjual-beli barang dan jasa, seperti menjadi penjual bunga, penjual makanan dan minuman, membuka warung, penginapan, menjual obat-obatan (khususnya ‘obat kuat’), menyewakan tikar, tukang ojek, tukang perahu, tukang parkir, bahkan ada yang ‘menjual’ atau ‘menyewakan’ dirinya. Demikian pula tambahan penghasilan bagi juru kunci dan juga pemerintah daerah setempat dari hasil penjualan karcis masuk serta pungutan lainnya. Pendek kata, adanya ritual di Gunung Kemukus itu menguntungkan bagi banyak pihak. Itu segi positifnya, sehingga pemerintah daerah setempat mengajukan Gunung Kemukus sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Tengah.

Bagaimana dengan segi negatifnya? Apalagi bila dikaitkan dengan masalah moral, mengingat banyak pula pengunjung perempuan yang bukan sekedar ngalab berkah saja, tapi bertujuan mencari “berkah” lain dengan “menyewakan” tubuhnya sehingga Gunung Kemukus menimbulkan kesan sebagai lokalisasi pelacuran yang terselubung. Bagi sebagian orang masalah pelacuran ini sangat meresahkan, karena dianggap dapat menodai citra dan makna dari dilakukannya ritual ngalab berkah itu.


Masalah pelacuran bukanlah suatu masalah yang baru dalam kehidupan manusia. Ada yang bilang masalah tersebut sudah ada setua umur manusia itu sendiri. Proses lokalisasi sebenarnya bukan sekedar penataan ruang fisik terhadap keberadaan sebuah aktivitas seksual saja, tetapi merupakan pula penataan sosial dan simbolis atas sesuatu yang didasarkan pada ukuran-ukuran yang ditentukan secara sosial. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan Abdullah (dalam Wahyudin,2000:105), lokalisasi adalah juga “peminggiran” atas keberadaan sosial yang serupa maknanya dengan eksklusi sosial dalam rangka menegakkan idealisme yang terlanjur diterima umum bahwa “pelacuran itu kotor dan laknat”. Suatu vonis yang tidak adil yang telah memencilkan secara sempit suatu dunia yang telah dibangun oleh tangan-tangan masyarakat itu sendiri tanpa pembelaan.
Pelacuran sebagai salah satu bangunan sosial yang ada dalam realitas kehidupan kita membutuhkan tidak hanya simpati, tapi juga pembelaan atas kecemasan, derita, harapan dan suara hati perempuan-perempuan penghadang mentari itu, yang selama ini tersimpan rapi dalam lapis-lapis solekan muka mereka. “Apakah kita pernah memikirkan itu?”, keluh Wahyudin (2000:80) menuntut suatu pertanggungjawaban. Suatu hal yang tentunya perlu dikaji kembali, namun setidaknya bagi masyarakat di Gunung Kemukus keadaan tersebut tidak menjadi persoalan benar. “Soal dosa sih ditanggung masing-masing, Mas !”, demikian kata salah seorang dari mereka. Bagi masyarakat Gunung Kemukus adanya ritual ngalab berkah akan membawa berkah tersendiri dan menimbulkan rasa aman dalam kehidupan mereka, lahir dan batin. Mudah-mudahan.


ke Neraka ?

References

Malinowski, B.
A Scientific Theory of Culture and Other Essay, Chapen Hill, New York,
1944.
Mulder, Niels
Java-Thailand : A Comparative Perspective, Gadjah Mada University Press,
1983.
Sumiarni, M.G. Endang dkk.
Seks dan Ritual di Gunung Kemukus, PPK-UGM, Yogyakarta, 1999.
Turner, Victor W.
The Ritual Process, Pelican Books, Middlesex, 1974.
Van Peursen, C.A.
Strategi Kebudayaan, BPK Gunung Mulia-Kanisius, Jakarta, 1976.
Wahyudin
Mampir Mas! : Spiritualitas dan Dunia Bathin Perempuan Pelacur, Lapera,
Yogyakarta, 2000.
Weeks, Jeffrey
Sex, Political Society : The Regulation of Sexuality Since 1800, Longman, London, 1981.

Pictures :