Senin, 05 Januari 2009

Kain Tenun Tradisional Sumba

ASPEK STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL DALAM KAIN TENUN TRADISIONAL DI SUMBA TIMUR



Makalah yang disampaikan dalam acara pameran dan diskusi bertema Tradisi Kain Tenun dalam Kebudayaan Sumba” yang diselenggarakan oleh Forum Kajian Antropologi Indonesia dan Bentara Budaya Jakarta pada 12 April 2006 di Jakarta.

Salah satu bentuk seni kerajinan yang dihasilkan kaum perempuan Sumba (Nusa Tenggara Timur) adalah kain tenun yang dikenal dengan sebutan “Kain Sumba”. Kerajinan tenun itu berupa sehelai kain yang penuh hiasan dekoratif yang indah, dengan disain menarik, komposisi harmonis, dan bentuk-bentuk ragam hiasnya mempunyai karakteristik tersendiri. Demikian pula dalam proses pembuatannya, baik dalam pengadaan bahan, teknik pembuatan ragam hias, pemakaian warna, cara menenun, dan juga fungsi kain itu dalam kehidupan masyarakat Sumba dapat menimbulkan kekaguman.

Berdasarkan penelitian etnografis, menunjukkan bahwa di balik bentuk-bentuk komposisional yang indah itu terdapat prinsip-prinsip struktural yang sejalan dengan prinsip-prinsip formal yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Sumba. Sehingga sehelai kain itu tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melindungi tubuh dari pengaruh alam atau untuk memperindah diri saja, akan tetapi merupakan benda budaya yang mempunyai “isi” yang mengekspresikan nilai-nilai tertentu dan merupakan kekayaan budaya suatu bangsa.


ASPEK-ASPEK STRUKTURAL

Kaum perempuan di Sumba Timur umumnya memp unyai keahlian membuat kain tenun. Keahlian itu mereka peroleh melalui pendidikan praktis di lingkungan keluarganya secara turun-temurun, dengan masa belajar bertahun-tahun, penuh kesungguhan dan ketekunan. Selain itu, untuk menghasilkan sehelai kain yang bermutu mereka harus memiliki daya imajinasi dan intuisi yang kuat. Hal itu disebabkan seluruh pola dan disain dari kain itu hanya direkam dalam ingatan saja.

Proses pembuatan sehelai kain memerlukan waktu yang cukup lama, antara dua sampai enam bulan dengan masa kerja sekitar empat jam setiap harinya. Bahkan untuk kain berkualitas prima ada kalanya diperlukan waktu bertahun-tahun. Proses tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dan tahap pengadaan bahan baku, pengaturan lungsi, pembuatan ragam hias, pemberian warna dan menenun. Jenis kain tenun yang dib uat adalah hinggi (selimut), lau (sarung), tiara (ikat kepala), dan tamelingu (tudung kepala). Adapun jenis kain yang dikemukakan dalam tulisan ini ialah kain hinggi yang lebih dikenal dengan sebutan “Kain Sumba” itu.

Pada dasarnya proses pembuatan berbagai jenis kain tenun tersebut di atas sama saja. Perbedaannya dalam teknik pembuatan ragam hias. Pada kain hinggi digunakan teknik pembuatan ragam hias yang disebut teknik “ikat”, yaitu suatu teknik memberi warna pada benang-benang tenun dengan cara mengikatnya sebelum ditenun. Teknik ikat diduga berasal dan daerah Uzbekistan. Dari tempat itu teknik ikat ini dibawa oleh suku-suku bangsa yang berasal dan Kaukasia, Danube, dan Rusia Selatan pada zaman kebudayaan Dong-Son. Mereka bermigrasi ke arah timur dan juga ke kepulauan Nusantara melalui Szechwan, Yunnan, dan Indocina pada abad ketujuh sebelum Masehi (Loring, 1978:120).

Ada bermacam-macam ragam hias yang dibuat pada kain hinggi, tergantung pada kemahiran wanita pembuatnya. Motif ragam hias yang umu m digambarkan pada kedua bidang akhir hinggi ialah motif binatang, manusia dan andungu (pohon tengkorak). Sedangkan untuk bidang tengah ialah motif tumbuh-tumbuhan, motif geometris, dan motif skematis. Kain hinggi diberi nama menurut ragam hias yang menjadi hiasan utama dalam kain itu, misalnya hinggi tau (kain manusia), hinggi andungu (kain pohon tengkorak), hinggi kurangu (kain udang), hinggi ruha (kain rusa) dan sebagainya.

Kain hinggi terbagi atas dua nai (lirang, separuh kain) yang dijahit menjadi sehelai kain. Tiap lirang ditenun tersendiri. Menenun hinggi dapat dibedakan atas dua cara tenun , yaitu hinggi panda paingu dan hinggi paingu. Hinggi panda paingu ialah kain hinggi yang ditenun dari benang yang tidak diikat. Ada yang polos (hinggi patinu mbulungu) dan ada pula yang terbuat dari beraneka warna benang (hinggi papabetin gu). Sedangkan hinggi paingu ialah kain hinggi yang ditenun dari benang yang diikat, dan terdiri dari dua macam yaitu hinggi kawuru (kain biru) dan hinggi kombu (kain merah).

Kain tenun yang dibuat kaum perempuan Sumba Timur dirancang dengan baik dan setiap bidang dihiasi ragam hias yang diatur dalam komposisi yang harmonis. Dalam mengatur komposisi, garis merupakan unsur penting karena dapat menentukan bidang dan bentuk. Garis-garis itu merupakan garis horizontal dan membagi kain itu menjadi beberapa jalur. Setiap jalur merupakan bidang-bidang yang dihiasi dengan berbagai motif ragam hias. Jalur melintang di bagian tengah kain merupakan bidang pusat (padua). Jalur-jalur lainnya, sebelah-menyebelah merupakan bidang akhir (kiku). G aris-garis pada kain tenun dapat berupa garis lurus, lengkung, patah-patah, atau titik-titik.

Untuk mendapat keserasian dalam menempatkan motif-motif ragam hias yang akan digambarkan, komposisinya diatur secara simetris. Dalam komposisi simetris ini, ragam hias yang berbentuk sama pada salah satu bidang akhir digambarkan pula pada bidang akhir lainnya secara berlawanan. Komposisi ragam hias pada kedua bidang akhir umumnya menampilkan bentuk imajiner segi tiga, sedangkan pada bidang pusat menampilkan bentuk imajiner segi empat.

Ketika membuat disain kain tenun ada beberapa prinsip yang secara tetap menunjukkan suatu keseluruhan yang terstruktur. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan prinsip-prinsip formal yang juga mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Sumba Timur.

Prinsip pertama ialah pengaturan komposisi yang membagi permukaan kain tenun menjadi tiga bidang, yaitu satu bidang pusat dan dua bidang akhir (atas dan bawah) yang berisikan rancangan sama tetapi terletak pada arah berlawanan secara simet ris. Apabila kain itu digantung pada bagian tengahnya, maka kedua bidang akhir masing-masing menghadap ke satu arah, sedangkan bidang pusat menghadap kedua arah. Dapat dikatakan bahwa dalam sehelai kain terdapat satu pasangan yang berlawanan tapi serupa pada bidang akhir, dan ditambah satu bidang pusat yang bersifat “bermuka dua’ (netral, ambivalen). Sifat ambivalen itu menunjukkan bahwa bidang pusat mempunyai hubungan yang sama dengan bidang-bidang lainnya.



Prinsip tersebut di atas dapat dijumpai pula dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur, misalnya di Paraingu Umalulu pada masa lalu. Perkampungan besar yang disebut Paraingu Umalulu pada dasarnya dibagi menjadi tiga wilayah yang masing.masing dikuasai oleh satu kabihu (klen, marga) utama. Pada bagian kambata (udik) dikuasai kabihu Palai Malamba sebagai golongan maramba (raja, bangsawan) dan empat kabihu bawahannya; bagian kani- padua (pusat, pertengahan) dikuasai empat kabihu ratu (klen pendeta) yang dibantu empat paratu (pembantu pendeta) dalam melaksanakan tugasnya melayani kedua habihu maramba secara sama dalam seluruh masalah keagamaan dan menengahi perselisihan di antara keduanya; dan bagian kiku (hilir) dikuasai kabihu Watu Pelitu serta empat kabihu bawahannya.



Pada sistem perkawinan, prinsip itu dapat dikemukakan sebagai berikut ; kabihu A memberi wanita kepada kabihu B, dan menerima wanita dari kabihu C, karena pertukaran wanita di antara dua kabihu tidak dibenarkan. Kedudukan, hak, dan kewajiban kabihu penerima wanita berbeda dengan kabihu pemberi wanita. Kabihu penerima wanita selalu lebih rendah kedudukannya daripada kabihu pemberi wanita. Hal itu dapat dilihat misalnya pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh kabihu penerima wanita untuk memperhatikan segala sesuatu yang dibutuhkan kabihu pemberi wanita. Dalam hubungan ini pula, kabihu pemberi wanita menjalankan hak pengawasan terhadap segala persoahan dan kepentingan kabihu penerima wanita dan bila perlu turut campur tangan langsung.

Dalam sistem perkawinan antar kabihu itu, setiap kabihu berfungsi sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai kabihu pemberi wanita yang mempunyai kedudukan lebih tinggi, atau sebagai kabihu penerima wanita yang mempu nyai kedudukan lebih rendah, dan sebagai kabihu tengah yang dalam hal ini bisa disebut mempunyai kedudukan netral. Setiap kabihu dapat berperan sebagai kabihu tengah dan merupakan sebuah persekutuan hidup tersendiri, karena setiap kabihu selalu mengetahui kepada kabihu mana harus memberi wanita dan dari kabihu mana mendapat wanita. Maka untuk dapat berfungsinya sistem ini dengan sempurna, diperlukan tiga kabihu yang merupakan tiga trio dalam satu kesatuan. Dalam setiap trio, kedua kabihu samping berperan sebagai dua fratri terhadap kabihu tengah, yang satu sebagai kabihu pemberi wanita (lebih tinggi) dan lainnya sebagai kabihu pernerima wanita (lebih rendah). Sedangkan kabihu tengah sekaligus mencakup ked ua peran itu, yaitu sebagai pemberi dan penerima wanita. Kabihu tengah melambangkan suatu totalitas yang mencakup d ua hal yang berlawanan (pemberi dan penerima wanita) dengan dua kedudukan berbeda (lebih tinggi dan lebih rendah).
Sistem perkawinan antar kabihu merupakan bagian dari lalu-lintas tukar menukar yang teratur dan bersifat religius serta ekonomis, di sini kabihu tengah secara tetap menyerahkan wanita bersama benda-benda yang disebut kamba wei (kain dan babi, harta milik wanita) kepada kabihu penerima wanita di satu pihak, dan di lain pihak menerima laki-laki beserta benda-benda yang disebut banda wili (benda nilai, harta milik lak i-laki). Sedangkan dengan pasangannya yang lain, yaitu kabihu pemberi wanita, kabihu tengah berada dalam posisi lalu-lintas tukar menukar yang berlawanan. Apabila dilihat lebih lanjut tentang sistem pertukaran manusia dan benda ini, maka secara ekonomis dalam sistem itu terdapat barang-barang tertentu yang setalu beredar dalam seluruh masyarakat itu dan arah sirkulasinya berlawanan sesuai dengan sifatnya sebagai benda-benda wanita atau benda-benda laki-laki. Menurut masyarakat Sumba Timur, kedudukan kedua kelompok yang saling bertukaran dan nilai benda-benda yang dipertukarkan adalah sama (pahamatimbangu) karena selalu berputar dengan seimbang.

Apabila pertukaran benda-benda itu karena satu dan lain hal tidak dapat dilangsungkan, masyarakat Sumba Timur mempunyai suatu pengaturan lain yang disebut pahamburungu (mengatur pertemuan). Pengaturan ini digunakan untuk mempertemukan orang-orang atau kelompok-kelompok dari daerah berlainan di suatu daerah yang merupakan pertengahan antara daerah-daerah yang berlainan itu. Orang-orang di suatu daerah bergabung serta berunding untuk mengadakan pertemuan di suatu daerah ten gah di mana mereka dapat mempertukarkan barang-barang dengan orang-orang dari daerah lain. Setelah melalui proses perundingan dan telah disetujui oleh masing-masing pihak, maka pada hari yang telah ditentukan mereka bertemu di daerah tengah (netral) dan secara resmi mereka saling menukarkan barang-barang yang dibutuhkan dengan nilai yang seimbang. Pengaturan pertemuan itu digunakan pula dalam mendisain kain tenun, dan istilah pahambururgu dipakai untuk menunjukkan bidang-bidang pada kain yang mempunyai karakterlstik sama (simetris). Dalam mendisain sehelai kain, mula-mula hanya separuh bagian saja yang didisain, kemudian dikerjakan separuh lagi dengan pola yang sama. Setelah itu barulah kedua bagian itu dipertemukan di bagian tengah.

Contoh lain kedinamisan muka dua pada kelompok tiga bidang itu ialah dalam perilaku kelompok-kelompok yang sedang mengadakan suatu perundingan secara resmi. Seluruh kelompok yang ambil bagian dalam perundingan itu (misalnya pada saat perkawinan, kematian, atau kunjungan resmi lainnya) dipimpin oleh juru-juru bicara yang bertindak sebagai wunangu (penengah, perantara). Di rumah tempat perundingan itu dilakukan, kelompok tuan rumah dan kelompok tamu duduk di bangga hanamba (balai-balai muka) secara berlawanan. Di antara kedua kelompok itu, para wunangu dari masing-masing kelompok (setiap kelompok diwakili oleh dua orang wunangu) duduk berhadapan satu sama lain. Segala sesuatu yang dibicarakan salah satu kelompok selalu diketahui para wunangu, kemudian wunangu akan menyampaikan pesan-pesan yang dibicarakan salah satu kelomp ok kepada kelompok lainnya, demikian seterusnya hingga dicapai suatu kesepakatan yang disetujui bersama. Dalam hal ini para wunangu berlaku sebagai orang-orang bermuka dua, tetapi juga sebagai penengah di antara dua kelompok yang berlawanan. Dalam hal menenun kain, istilah wunangu digunakan untuk menyebut sebatang kayu yang juga berfungsi sebagai penengah di antara dua lapisan benang yang akan ditenun. Walaupun belum ada istilah khusus untuk menyebut prinsip pertama ini dalam bahasa Sumba, tetapi di dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Sumba Timur akan dijumpai suatu prinsip pengorganisasian antar-relasi kelompok-kelompok yang berlawanan dan secara formal dihubungkan oleh suatu unsur yang bertindak sebagai penengah (bersifat ambivalen).


Prinsip kedua dalam pengaturan komposisi pada kain tenun ialah prinsip bayangan dalam cermin (mirror image). Untuk busana resmi, khususnya bagi laki-laki, ada dua helai kain yang dikenakan, yaitu yang dikenakan secara horizontal di pinggang, dan yang dikenakan secara vertikal di pundak. Setiap kain akan mempunyai dua muka yang identik, yaitu pada bagian kiri dan kanan. Baik bagian atas maupun bagian bawah akan membentuk setengah lingkaran atau lekukan pada bidang tengahnya, sedangkan disain pada bidang-bidang akhir akan saling berhadapan. Sehingga kedua kain itu, walaupun berbeda cara pemakainnya, tetapi mempunyai karakteristik yang sama. Hal itulah yang dimaksud dengan prinsip bayangan dalam cermin.

Prinsip bayangan dalam cermin merupakan konsep utama suatu komunitas dalam hubungannya dengan alam supranatural (alam gaib). Suatu komunitas diorganisasikan menurut nyanyian-nyanyian ritual, seperti Na mauna la mara - Na ninuna la wai (pantulan pada tanah kering dan bayangan dalam air). Dapat dikatakan bahwa kehidupan di dunia nyata merupakan bayangan dari kehidupan di dunia gaib yang dianggap lebih tinggi. Prinsip bayangan dalam cermin ini tergambarkan pula dalam bahasa upacara yang disebut luluku. Bahasa upacara merupakan kalimat kiasan berpasangan (paralel) yang berbait-bait untuk menyampaikan pengertian yang lebih luas. Setiap bait terdiri dan dua kalimat yang mempunyai arti yang hampir sama atau berlawanan. Misalnya, Na Mawulu Tau - Na Majii Tau (Yang Membentuk Manusia dan Yang Membuat Manusia), dan Ina Mangu Tanangu - Am a Mangu Lukungu (Ibu yang punya tanah dan Bapak yang punya sungai). Ekspresi paralelisme dalam bahasa upacara merupakan suatu aturan yang berlaku pula pada aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur.

Gambaran lain dan prinsip bayangan dalam cermin ini ialah pada cara para maramba (bangsawan) memperlakukan hamba-hamba mereka, khususnya bagi hamba-hamba yang disebut ata ndai (hamba pusaka). Ata ndai ialah hamba-hamba yang turun-temurun tetap bersama majikannya. Oleh karena itu, golongan ini biasa disebut juga ata ranja maramba (hamba yang setingkat dengan bangsawan). Merek a merupakan hamba-hamba yang dihormati dan disegani. Dari golongan inilah terdapat orang-orang yang disebut ata bokulu (hamba besar), yaitu orang-orang yang berpengaruh serta menjadi kepercayaan para bangsawan yang bersangkutan. Di mana majikannya kawin, di sana pulalah ia kawin. Mereka itulah yang dijadikan ngara hunga (gelar nyata) dari majikannya. Biasanya para raja atau bangsawan lebih suka bila namanya tidak disebut-sebut, tetapi menggunakan nama hambanya, misalnya Umbuna i Ndilu (Tuan si Ndilu) dan sebagainya. Dalam upacara perkawinan bangsawan, nama hamba pengantin wanita yang didandani dengan pakaian dan perhiasan indah (ana mamoha) digunakan sebagai pengganti nama pengantin wanita. Nama ana mamoha itu dipakai terus selama upacara perkawinan berlangsung oleh pihak keluarga pengantin laki-laki. Pada upacara penguburan seorang raja atau bangsawan, salah seorang hamba kepercayaannya dikenakan pakaian dan perhiasan yang serba indah dan menunggang kuda kesayangan raja itu ke tempat pemakaman. Pada saat itu ia mewakili arwah majikannya yang sedang menuju alam gaib, dan ia mendapat penghormatan serta pelayanan yang layak dilakukan kepada seorang raja.



Dalam kehidupan sosial, suatu konsep yang dianggap penting diekspresikan oleh kata papa (pasangan, seperti tangan sebelah kiri dengan sebelah kanan). Kedua belah tangan dapat dipandang sebagai satu pasangan yang sama, tetapi dapat pula sebagai pasangan yang berlawanan. Hal itu dimisalkan seperti orang yang seda ng memanjat di antara dua batang pohon lontar yang berdekatan. Ketika naik atau turun, orientasi dari setiap tangan berbeda, tetapi membentuk suatu kerja sama yang serasi. Masyarakat Sumba Timur menggunakan situasi itu sebagai simbol dalam suatu perundingan, dan disebut dengan istilah pamerangu la lima (menyamakan tangan-tangan). Para wunangu yang menjadi mediator dan juga memimpin suatu perundingan mengemukakan hal itu dengan bahasa kiasan Ka da pahamangu la ngaru - ka da pamerangu la lima (maka mulut-mulut itu akan menjadi sekata dan tangan-tangan itu menjadi sama). Demikianlah kata papa menunjukkan dua peran yang saling berlawanan, tetapi juga saling melengkapi, misalnya pamau papa (menaungi pasangan, jodoh), hapapa kadu (pasangan tanduk), papa ngaru (pasangan mulut, kawan berbicara).


Prinsip ketiga dalam pengaturan komposisi pada kain tenun ialah penggunaan angka-angka yang paling disukai masyarakat dalam mengklasifikasikan atau menilai sesuatu. Angka-angka atau hilangan-bilangan itu ialah 2, 4, 8, dan 16 (2 x 8). Bilangan dua mempunyai arti penting dalam konsep bayangan dalam cermin, bilangan empat mempunyai arti penting dalam pengaturan kehidupan sosial, bilangan delapan merupakan bilangan yang dianggap sempurna, terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara-upacara keagamaan, dan bilangan enam belas menandakan pada hal-hal yang sangat istimewa (biasanya yang bersangkutan dengan keagamaan, raja, dan alam gaib). Masyarakat Sumba Timur percaya bahwa segala aturan yang mengatur kehidupan mereka ditetapkan oleh delapan marapu (arwah nenek moyang yang didewakan) yang kini dipuja di delapan rumah pe mujaan yang tersebar di berbagai daerah di Sumba Timur. Konsepsi masyarakat Sumba Timur mangenai alam semesta menunjukkan hubungan bilangan antara dua kali delapan. Menurut pandangan mereka, langit (alam atas) terdiri dari delapan tingkat yang disebut Awangu walu-ndani, bumi dan laut (alam bawah) terdiri dari delapan lapis yang disebut Tana walu ndawa, sedangkan tanah yang ditempati manusia (alam tengah) merupakan pusat yang disebut Ina tanangu - Ama lukungu.

Bilangan-bilangan yang terdapat dalam kain tenun ialah pada disain yang berpasangan, yaitu pada dua panil yang merupakan bayangan dalam cermin, dan pada empat sudut yang membentuk bidang pada setiap helai kain. Bilangan de lapan berhubungan dengan jalur-jalur dan bidang-bidang dari setiap disain. Secara umum, dalam separuh kain hinggi terdapat empat bagian (empat jalur) yang dihiasi ragam hias, yaitu padua (bagian tengah), talaba dita (bagian atas), tau (badan), dan talaba wawa (bagian bawah). Bila ternyata terdapat lebih dari empat jalur, mereka tetap berpendirian bahwa dalam separuh kain itu terdapat empat jalur saja. Jalur-jalur selebihnya dianggap sebagai bagian padua atau talaba dita. Ragam hias yang digambarkan pada bagian tau merupakan ragam hias utama yang menentukan nama dari kain itu. Bagian talaba dita dan talaba wawa merupakan jalur-jalur pengapit bagian tau. Sedangkan bagian padua merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai disain yang ada hubungannya dengan status sosial tertentu atau hal-hal yang dianggap sakral. Bagian padua ini disebut juga kundu duku (bahu pemikul).

Masyarakat Sumba Timur mengatur perkampungan mereka berdasarkan bilangan-bilangan yang tersusun secara bertingkat. Untuk mendapatkan status sebagai paraingu (desa), maka penduduk pada sebuah paraingu paling sedikit harus terdiri dari dua kabihu utama yang dipertuan di dalam wilayah itu. Biasanya dalam suatu paraingu terdapat empat kabihu, karena menurut pandangan mereka dalam satu paraingu itu terdapat empat siku yang membentuk paraingu itu, dan setiap siku didiami oleh s atu kabihu. Empat kabihu itulah permegang tanggung jawab dalam wilayahnya. Di dalam pertemuan-pertemuan resmi atau musyawarah -musyawarah adat, nama-nama dari keempat kabihu itu selalu diucapkan serangkai, misalnya Palai Malamba - Watu Pelitu, Lamuru - Lukuwalu. Sedangkan untuk mendapat status sebagai paraingu bokulu (perkampungan besar) harus terdiri dari delapan (2 x 4) kabihu atau enam belas (2x8) kabihu.



Pola perkampungan berbentuk segi empat dan mem punyai empat pintu utama. Rumah-rumah didirikan berjajar yang terdiri dari dua jajar yang saling berhadapan. Rumah-rumah itu berbentuk empat persegi panjang, serta terdapat dua macam bentuk rumah, yaitu uma mbatungu dan uma kamudungu. Setiap rumah penting yang menjadi rumah pusat suatu kabihu (uma bokulu) dibangun di atas empat tiang utama (kambaniru lundungu), dan jumlah seluruh tiang ada 36 tiang (4 tiang utama ditambah 4 x 8 tiang penunjang).

Masyarakat Sumba Timur membagi kelompok kekerabatannya menjadi empat kelompok, yaitu biliku, ukuruma, uma, dan kabihu. Demikian pula dalam pergaulan antar individunya terdapat pembedaan kedudukan dan derajat yang terdiri dar i empat lapis, yaitu ratu, maramba, kabihu, dan ata. Dalam perkawinan, jumlah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki dan harta yang diterima dari pihak wanita selalu dihubungkan dengan bilangan yang diinginkan dan status sosial dari kedua belah pihak, misalnya mas kawin yang berbentuk perhiasan biasanya terdiri dari empat mamuli mas, dua kanataru atau lakululungu dan dua lulu amahu (jumlah seluruhnya ada delapan buah), dan yang berbentuk hewan terdiri dari empat ekor kuda (dua jantan, dua betina). Untuk perkawinan pada kalangan bangsawan, jumlah itu dapat bertambah dua kali lipat, empat kali lipat, atau delapan kali lipat.

Urutan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan direncanakan pada suatu skala yang bertingkat dari dua, empat (2 x 2), delapan (2 x 4), dan enam belas (2 x 8) hari atau tahun tergantung dari penting tidaknya upacara itu. Suatu peristiwa dapat saja berjarak lebih lama, tetapi pada prinsipnya hanya hari atau tahun resmi saja yang dihitung. Bila suatu pesta atau upacara tidak dapat dilaksanakan tepat pada waktunya, sebenarnya upacara itu ditunda selama dua hari atau dua tahun. Adapun lamanya upacara itu dilaksanakan diukur pula menurut bilangan-bilangan yang diinginkan berdasarkan tahapan-tahapan yang disebut na rehi dambu (dua kali), na rehi patu (empat kali) dan na rehi walu (delapan kali).


ASPEK-ASPEK FUNGSIONAL

Tujuan utama dari pembuatan kain, baik hinggi maupun lau, ialah untuk dipakai oleh pria atau wanita sebagai alat untuk menahan pengaruh dari sekitaran alam. Akan tetapi, masih ada lagi fungsi lain yang penting artinya bagi kehidupan masyarakat Sumba Timur, yaitu sebagai busana adat, tanda hubungan kekeluargaan, pembungkus jenazah dan bekal kubur, harta benda, alat tukar menukar dan barang hadiah.



1. Busana Adat


Adapun yang dimaksud dengan busana adat ialah pakaian yang dikenakan menurut aturan-aturan tertentu dan telah dilakukan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Menurut ketentuan adat, kelengkapan pakaian pria terdiri dari tiara (ikat kepala) atau disebut juga kambala ; dua helai hinggi, sehelai dililitkan di pinggang dan disebut kalambungu, sehelai digantungkan di pundak dan disebut paduku ; ruhu banggi (ikat pinggang) yang merupakan lilitan tali, ikat pinggang kulit atau kain tenun ; kabiala (parang) yang diselipkan di sebelah kiri pinggang; kalumbutu (tempat sirih pinang) yang digantungkan di sebelah kanan pundak. Sebagai perlengkapan tambahan pada ruhu banggi diikatkan sebuah tuangalu, yaitu sebuah kotak kayu tempat menyimpan mamuli (perhiasan mas, perak).

Pakaian yang biasa dipakai sehari-hari ialah hinggi patinu mbulungu, hinggi papabetingu, atau hinggi kawuru. Sedangkan hinggi kombu tidak dipakai sehari-hari, melainkan bila ada peristiwa-peristiwa penting atau upacara. Apabila dipakai juga hinggi kombu sebagai pakaian sehari-hari, biasanya hinggi kombu yang sudah tidak baik atau kumal yang disebut katari hinggi (selimut usang). Tapi sangat disayangk an bahwa kini kain-kain tenun tradisional sudah jarang dipakai oleh orang Sumba Timur. Mereka lebih menyukai kain buatan pabrik (hinggi tiara), karena lebih murah dan mudah didapat di toko-toko. Bagus tidaknya atau bermutu tidaknya bahan kain itu tergantung kepada kesanggupan membeli dari orang yang bersangkutan.

Pakaian yang dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting, seperti pada pesta-pesta atau upacara-upacara religius, harus pakaian yang baik dan bersih. Pakaian yang terbaik ialah hinggi kawuru atau hinggi kombu. Pada umumnya tidak ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan oleh ratu atau maramba dengan pakaian yang dikenakan oleh kabihu dan ata. Bila ada, hal itu hanya menyangkut kualitas saja dan kain yang mempunyai motif ragam hias tertentu, seperti motif ruu patola yang disebut juga patola ratu. Kain tenun yang mempunyai motif patola ratu ini hanya boleh dikenakan oleh para ratu dan maramba saja.

Perlengkapan pakaian wanita hanya terdiri dari lau saja. Cara mengenakan lau ialah dengan mengepitnya di ketiak sebelah kiri, disangkutkan di pundak kiri, atau dilipat di pinggang, Kini selain lau, para wanita mengenakan juga kebaya atau pakaian atas lainnya. Dahulu sebelum dikenal pemakaian kebaya atau pakaian atas lainnya, mereka hanya memakai lau saja dengan bertelanjang dada. Kain sarung yang dipakai sehari-hari ialah lau patinu mbulungu atau lau papabetingu dan lau tiara. Bila hendak beper gian atau pada pesta dan upacara mereka mengenakan lau ruukadama, lau kawau, atau lau kombu. Akan tetapi, karena sarung-sarung itu terasa agak berat bila dipakai, maka lebih disukai sarung yang dibuat dari kain yang dibeli dari toko. Kain sarung semacam itu disebut lau tiara hatingu (sarung kain satin) atau lau tiara hutaru (sarung kain sutera). Agar menjadi bagus, sarung-sarung itu mereka hiasi dengan sulaman dari berbagai motif ragam hias seperti ayam, burung-burung, bunga-bunga dan sebagainya. Kain sarung yang dihiasi sulaman ini disebut lau pabunga (sarung yang dihiasi) atau lau pakambuli (sarung yang disulam).



Para wanita bangsawan atau hartawan ada yang menghiasi sarung-sarung mereka dengan uang logam Belanda terbuat dari perak bernilai dua setengah gulden atau uang emas Inggris (poundsterling), sarung demikian disebut lau utu amahu (sarung jahitan emas atau perak). Ada pula kain sarung yang dihiasi dengan manik-manik (lau utu hada) dan sejenis kerang kecil (lau wihi kau}. Selain kain-kain sarung tersebut di atas, pada pesta dan upacara dapat pula dikenakan lau pahikungu atau lau pahudu. Perlengkapan lain yang harus dibawa ialah buala hapa (tempat sirih pinang untuk wanita), sebagai perhiasan biasanya mereka memakai sisir yang terbuat dan kulit penyu (hai) di sanggulnya, kalung dan gelang manik-manik (muti ana hida) serta anting-anting mas.


2. Tanda Hubungan Kekeluargaan

Menurut pandangan masyarakat Sumba Timur, hidup berkerabat atau payiara-palayiangu merupakan ngia parengga la handuka (tujuan tercepat dalam susah), artinya bila dalam kesusahan kepada kerabatlah tempat kita dengan segera meminta pertolongan. Memberi sesuatu kepada kaum keluarga tidak dinilai menurut barang yang akan diberikan atau menurut barang yang akan diterima. Paling utama memenuhi apa yang dibutuhkan dan tidak ada tawar-menawar seperti yang dilakukan terhadap orang bukan keluarga. Lalu-lintas barang-barang atau hewan selalu diperhatikan arahnya. Suatu aturan tetap ialah bila arahnya kepada pihak yiara (keluarga wanita), maka harus berupa mas perak, kuda, dan kerbau. Sebaliknya bila arahnya kepada pihak layia (keluarga laki-laki), harus berupa hinggi (kain selimut), lau (sarung), tiara (ikat kepala), hada (manik-manik), nggedingu (gading) dan wei (babi).

Dalam hal perkawinan, pihak layia akan memberi mas kawin berupa barang-barang mas perak dan hewan. Sebagai balasannya pihak yiara memberi hinggi, lau dan sebagainya yang banyaknya tergantung kepada kesanggupan dan kemampuan keluarga yang bersangkutan. Ada kalanya sebelum perkawinan dilaksanakan, untuk mengikat persetujuan kedua keluarga, mereka saling memberi kawuku (tanda bukti). Dari pihak keluarga wanita memberi hinggi, lau dan tiara kepada pihak keluarga laki-laki, dan dari pihak keluarga laki-laki akan memberi dua mamuli, dua lulu amahu serta dua ekor kuda.

Pada saat kematian, bila yang meninggal dari pihak yiara, maka pihak layia harus membawa emas perak, kuda atau kerbau. Bila yang meninggal dan pihak layia, pihak yiara harus membawa hinggi (kalau yang meninggal laki-laki) atau lau (kalau yang meninggal wanita). Demikian pula dalam mandara (mencari bahan makanan). Bila hendak meminta padi atau jagung ke pihak yiara, maka harus membawa emas perak. Sebaliknya bila ke pihak layia harus membawa hinggi atau lau, Demikianlah, bukan saja dalam urusan perkawinan atau kematian, tanda perhubungan ini nyata pula dalam hubungan kekeluargaan sehari-hari. Kedua pihak itu selalu saling memberi dan menerima. Bila pihak layia membutuhkan hinggi atau lau, maka dapat memintanya pada pihak yiara, sebaliknya bila pihak yiara membutuhkan mamuli atau hewan, mereka dapat memintanya kepada pihak layia. Tujuan barang-barang dan hewan itu selalu tetap dan tidak dapat ditukar arahnya.

Selain dapat memelihara hubungan kekeluargaan, kain tenun dapat pula digunakan untuk memelihara hubungan baik dengan yang bukan keluarga. Misalnya dalam suatu pesta atau keramaian, tuan rumah ketika membagi sirih pinang atau dalam melayani makan minum para tamu hendaknya memperhatikan kedudukan seseorang dalam masyarakat, yaitu harus disesuikan dengan tingkatan derajat dan tingkatan usia. Apabila terjadi kekeliruan, dan orang yang bersangkutan merasa dihina atau dipermalukan, maka ia akan menuntut atau meninggalkan pesta itu. Untuk memperbaiki kembali keadaan itu, tuan rumah harus ndoku (mengaku salah) dengan memberi sejumlah kain kepada orang yang bersangkutan dan memotong seekor kerbau atau babi. Bila ia tidak melakukan hal itu maka hubungan akan menjadi tidak baik, bahkan dapat putus sama sekali atau mungkin saja ia akan diperlakukan dengan cara yang sama.


3. Pembungkus Jenazah dan Bekal Kubur



Kain tenun selain dikenakan oleh orang yang masih hidup, dikenakan juga pada orang yang sudah mati sebagai pembungkus jenazahnya. Pembungkus jenazah pria terdiri dari kain-kain selimut yang dibawa oleh kaum kerabatnya, sedangkan untuk wanita terdiri dari kain-kain sarung. Kain-kain pembungkus jenazah disebut yubuhu, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu la tana (kain jenazah di tanah) dan yubuhu la kaheli (kain jenazah di balai). Yubuhu la tana dibawa oleh si mati ke dalam kubur, sedangkan yubuhu la kaheli disumbangkan kepada keluarga si mati. Yubuhu dikenakan pada jenazah ketika dilakukan upacara Pahadangu (membangunkan), yaitu ketika jenazah dimasukkan ke dalam keranda secara duduk dengan lutut ditekuk dan bertopang dagu. Pada saat itulah segala kain yang dibawa kaum kerabat si mati dikenakan dan diselubungkan pada jenazah. Hal tersebut dilakukan karena menurut pandangan orang Sumba Timur, kehidupan di alam akhirat identik dengan kehidupan di alam nyata. Oleh karena itu, agar arwah si mati tidak hidup sengsara di alam akhirat, maka perlu diberi bekal secukupnya antara lain berupa dangangu ihi ngaru, yaitu mas perak serta hewan korban, dan yubuhu-karandi yang terdiri dari kain-kain selimut atau sarung serta ikat kepala. Jadi selain sebagai pembungkus jenazah, kain tenun berfungsi pula sebagai bekal kubur.

Masih berhubungan dengan hal kematian, kain tenun dapat digunakan pula sebagai lambang kehadiran arwah seseorang yang telah mati. Orang yang mati karena kemalangan atau kecelakaan (meti manjurangu), mayatnya tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah dan harus segera dikuburkan. Penguburan itu merupakan penguburan sementara, dan arwah si mati dianggap masih berada di tempat kecelakaan itu terjadi. Oleh karena itu, sebelum upacara penguburan dilaksanakan, maka terlebih dahulu dilakukan upacara Lua papiti hamangu, yaitu upacara untuk menjemput arwah di tempat terjadinya kecelakaan dengan maksud agar arwah si mati dapat berkumpul dahulu dengan keluarganya dan tidak menjadi arwah penasaran. Arwah yang dijemput itu dilambangkan dengan sehelai kain. Bila orang yang mati itu laki-laki maka kain yang digunakan adalah kain selimut, dan bila wanita digunakan kain sarung. Setelah itu dilakukan penggalian untuk mengambil mayat atau tulang belulang si mati yang kemudian dibungkus oleh kain itu dan dibawa ke dalam rumah. Sesudah wai maringu (pemberi berkat) mendinginkan mayat atau tulang belulang dengan percikan air mantera, barulah dilakukan upacara penguburan seperti yang lazim dilakukan pada kematian biasa.

Kain tenun, khususnya hinggi, dapat pula melambangkan orang yang masih hidup. Hal itu dapat dilihat pada saat kelahiran seorang anak. Apabila ada seorang ibu hendak melahirkan dan suaminya tidak dapat hadir karena sedang bepergian atau hal lainnya, maka kehadiran si suami dapat diwakili oleh kain selimutnya. Hal itu dianggap penting sekali, karena menurut anggapan mereka si bayi akan sulit keluar dari rahim ibu bila tidak ditunggui oleh ayahnya. Dengan adanya kain selimut itu, si bayi diharapkan dapat lahir dengan selamat. Cara seperti tersebut disebut rambangu hinggi.


4. Harta Benda

Masyarakat Sumba Timur menilai kain-kain selimut dan sarung sama dengan benda-benda yang terbuat dari emas dan perak serta hewan-hewan ternak, yaitu sebagai harta benda. Harta benda yang berupa kain merupakan kekayaan pihak wanita dan juga merupakan lambang kewanitaan. Sedangkan harta benda yang berupa emas perak dan hewan ternak merupakan kekayaan pihak laki-laki dan juga sebagai lambang kelaki-lakian. Seorang gadis yang mempunyai banyak simpanan kain selimut dan sarung akan menjadi idam-idaman para pemuda, apalagi bila kain-kain simpanannya itu adalah hasil karyanya sendiri. Demikian pula halnya dengan seorang istri, ia akan menjadi kebanggaan suaminya.

Kaum wanita dalam masyarakat Sumba Timur berperan sebagai tungu pani manu - tungu uhu wei (pemelihara ayam dan babi), yaitu sebagai pengurus rumah tangga, maka harus pula pingu patinungu (pandai menenun), pingu papaingu (pandai mengikat kain) dan pingu pahikungu (pandai menyungkit sarung). Seorang wanita yang memiliki salah satu kepandaian itu, sudah tentu mendapat perhatian pria bila dibandingkan dengan wanita yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Apalagi bila wanita itu dapat menguasai seluruh kepandaian itu. Itulah sebabnya para orang tua Sumba Timur mendidik dan melatih puteri-puteri mereka sejak masa kanak-kanak, sehingga pada masa dewasa mereka sudah cakap menggunakan kepandaiannya itu dan menjadi kebanggaan keluarga.


5. Alat Tukar Menukar

Telah dikemukakan hahwa bila pihak layia membutuhkan sesuatu, mereka dapat memintanya kepada pihak yiara dengan membawa barang-barang yang sudah ditentukan sebagai tukarannya, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, apa yang dibutuhkan tidak selamanya ada pada kaum kerabat. Karenanya harus diusahakan pula dari orang lain. Misalnya bila seseorang membutuhkan kain maka ia dapat pergi kepada orang yang mempunyai kain dengan tukaran ternak atau benda mas perak. Sebaliknya bila membutuhkan hewan ternak atau emas perak, maka ia pergi kepada orang yang mempunyainya dengan tukaran kain. Nilai barang-barang yang ditukarkan biasanya tergantung pada kualitas barang-barang itu dan didasarkan pada kesepakatan bersama antara orang-orang yang hendak tukar menukar.


6. Barang Hadiah

Memberi hadiah, baik kepada orang-orang yang masih ada hubungan kerabat maupun kepada orang-orang yang bukan kerabat, merupakan suatu hal yang biasa dilakukan orang Sumba Timur. Barang-barang yang dihadiahkan umumnya berupa kain selimut atau kain sarung, ada kalanya pula berupa benda-benda mas perak atau hewan ternak. Kain-kain tenun dihadiahkan bukan pada setiap saat, melainkan bila ada peristiwa-peristiwa penting seperti pada kelahiran seorang anak, perkawinan, kematian, atau dihadiahkan kepada orang-orang yang dianggap berjasa dan kepada tamu-tamu yang dihormati. Untuk pria dihadiahkan kain selimut, sedangkan untuk wanita dihadiahkan kain sarung.


KESIMPULAN

Setelah mengkaji simbol-simbol dalam disain kain tenun dan menghubungkannya dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat Sumba Tirnur, maka dapat disimpulkan bahwa keduanya menunjukkan suatu pola dasar yang sama, atau mempunyai prinsip-prinsip struktural yang sama. Prinsip-prinsip itu meliputi tiga aspek, yaitu pembagian dua tiga (dyadic-triadic), bayangan dalam cermin (mirror image), dan pemakaian bilangan-bilangan favorit dalam menilai atau mengklasifikasikan sesuatu (2,4,8,16), Ketiga prinsip itu memperlihatkan ciri antagonisme kosmologis yang bertepatan dengan klasifikasi kosmos yang membedakan adanya alam atas, alam tengah, dan alam bawah, atau klasifikasi atam atas dan kombinasi antara alam tengah dengan alam bawah. Sistem klasifikasi itu, bagi alam atas dihubungkan dengan lingkungan pria yang sakral, dan bagi alam bawah dihubungkan dengan lingkungan wanita yang profan. Sedangkan alam tengah bersifat ambivalen karena memperlihatkan baik ciri-ciri pria maupun wanita. Klasifikasi ke dalam dua kategori seperti bersifat pria dan bersifat wanita, sakral dan profan, alam atas dan alam bawah, memberikan pengertian bahwa kedua kategori itu saling bergantungan dan saling mengisi. Adanya pertentangan dalam kedua kategori itu merupakan keharusan untuk membentuk suatu totalitas. Totalitas ini dalam disain kain tenun dilambangkan oleh bidang pusat (padua) yang memenuhi fungsi perantara atau penengah di antara dua bidang samping. Selain selalu dicari keseimbangan antara lingkungan pria dengan lingkungan wanita, yang sifat berlawanannya itu dipertautkan oleh lingkungan dua-muka (ambivalen) dan dengan demikian membentuk suatu kesatuan, maka dalam perilaku kehidupan orang Sumba Timur serta kebudayaannya dapat ditelusuri suatu kesatuan lain yang disebut pahamburungu (pertemuan).

Proses-proses inversi sering terjadi dalam arti adanya perpindahan kategori ke dalam lingkungan yang berlawanan. Misalnya pada pemakaian hinggi yang dapat dikenakan baik secara vertikal maupun secara horizontal; bidang atas dapat pula dilihat sebagai bidang bawah; suatu kabihu dalam hubungannya dengan kabihu lain, dapat saja berperan sebagai klen pemberi wanita yang kedudukannya lebih tinggi, tetapi di lain pihak kabihu tersebut berperan sebagai klen penerima wanita yang kedudukannya lebih rendah; atau pada cara memperlakukan para hamba pada upacara penguburan seorang raja. Proses inversi ini dapat ditafsirkan sebagai pengolahan lingkungan-lingkungan yang berlawanan oleh kebudayaan masyarakat Sumba Timur yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan tajam. Melalui inversi maka tercakuplah lingkungan yang satu ke dalam lingkungan yang lain, dan ambivalensi alam tengah mempunyai fungsi sosial yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis.

Ketiga prinsip yang telah dikemukakan nampaknya cenderung membentuk nilai estetika masyarakat Sumba Timur. Estetis dalam konteks ini tidak hanya menunjukkan pada ukuran keindahan saja, melainkan mengikuti pula bentuk-bentuk khusus, yaitu kesetiaan pada prinsip-prinsip yang merupakan nilai-nilai dasar serta orientasiorientasi dasar yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi dalam mengatur dan mengorganisasikan segala aspek kehidupan dari masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai dasar serta orientasi-orientasi dasar itu terdapat di dalam proses pemikiran sebagaimana diungkapkan oleh simbol-simbol dalam mitos-mitos, struktur sosial dan kebudayaan materi (dalam hal ini kain tenun) dari masyarakat itu. Dengan demikian pola kebudayaan masyarakat Sumba Timur dapat dikenal dan difahami dengan jalan mengkaji simbol-simbol yang terdapat dalam disain kain tenun yang mereka buat, karena simbol-simbol itu bukan saja mengungkapkan ekspresi pikiran dan perasaan individu para penenun, tetapi mengungkapkan pula aturan-aturan yang menjadi dasar dari perilaku budaya yang berlaku dan diterima oleh masyarakat bersangkutan. Dalam hal ini kain tenun merupakan suatu alat atau wadah untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan masyarakat Sumba Timur dalam menanggapi alam sekelilingnya serta mengungkapkan prinsip-prinsip struktural yang tersirat. Ekspresi tersebut dinyatakan dalam disain kain beserta ragam hiasnya, dan sekaligus berfungsi sebagai hiasan dari kain tenun itu sendiri.

Bila dihubungkan dengan kategori karakter dualisme, kain tenun dapat digolongkan ke dalam lingkungan wanita yang secara khas berlawanan dengan benda-benda logam dari lingkungan pria. Kain tenun merupakan lambang kewanitaan dan juga berfungsi sebagai media yang menghubungkan antara lingkungan wanita dengan lingkungan pria. Selain fungsi tersebut di atas, kain tenun mempunyai fungsi lain yang penting artinya dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur. Fungsi-fungsi itu meliputi bidang religius, sosial dan ekonomi, yang antara lain digunakan sebagai busana adat, pembungkus jenazah, bekal kubur, tanda hubungan kekeluargaan, harta benda, alat tukar menukar, dan barang hadiah. ****


DAFTAR PUSTAKA

Adams, Marie Jeanne. 1969. System and Meaning in East Sumba Textile Design; A Study in Traditional Indonesian Art, New Haven Connecticut : Yale University, Southeast Asia Studies.
Fox, James. 1980. The Flow of Life; Essays on Eastern Indonesia, Massachusetts : Havard University Press.
Josselin de Jong, J.P.B. de. 1971. Kepulauan Indonesia sebagai Lapangan Penelitian Etnologi, terjemahan P.Mitang, LIPI-KITLV, Jakarta : Bhratara.
Jung, Carl G. (ed). 1983. Man and His Symbols, New York : Dell Publishing Co., INC.
Kapita, Oemboe Hina. 1976. Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Waingapu : Panitia Penerbit Naskah-naskah Kebudayaan Daerah Sumba, GKS.
Loring, John. 1978. The Lure of The Ikat ; Intricacies of an Ancient Craft, in Architectural Digest, Vol. 35, Nm 6, July-August, Los Angeles, California : Knapp Communications Corporation.
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan, diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Yogyakarta-Jakarta : Penerbitan Kanisius BPK Gunung Mulia.
Soeriadiredja, Purwadi. 1983. Simbolisme dalam Disain Kain di Watu Puda, Sumba Timur, Bandung : Jurusan Antropologi, FS - UNPAD.
------- 2002, Prinsip-prinsip Struktural Dalam Rumah Tradisional Sumba di Umalulu, Yogyakarta : Program Studi Antropologi, PPFIB - UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar